Home  /  Berita  /  Politik

Betulkah Kita akan Menghadapi Krisis Lebih Berat dari Krismon 1998?

Betulkah Kita akan Menghadapi Krisis Lebih Berat dari Krismon 1998?
Jejak tragedi 98. (Istimewa)
Senin, 11 Mei 2020 02:52 WIB
JAKARTA - Dampak ekonomi dari wabah virus corona bisa seperti krisis depresi besar 1930-an. Negara dengan tingkat utang besar dan fundamental ekonomi rapuh lebih sulit pulih dari krisis, kata pakar sejarah ekonomi Albrecht Ritschl.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, krisis ekonomi yang harus dihadapi kemungkinan adalah krisis tersulit yang pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Menurutnya, pada krisis finansial tahun 1998, sektor UMKM masih kuat. Sedangkan di tahun 2020, UMKM yang seharusnya menjadi penopang untuk orang-orang yang di-PHK, tidak mampu menyerap tenaga tersebut.

"Tahun 2020 ini, bahkan UMKM juga kesulitan karena adanya PSBB dan physical distancing, jadi mereka dilarang untuk berjualan juga. Menurut saya, memang dalam sejarah mungkin ini adalah krisis yang paling dalam sejak Indonesia merdeka," ujarnya, Minggu (10/5/2020)

Ia menambahkan indikator lain yang mungkin menyebabkan keresahan sosial (social unrest), yakni tingkat kemiskinan. Karena ada 115 juta masyarakat kelas menengah yang rentan miskin. Bhima merujuk pada laporan Bank Dunia berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class, yang menyatakan masyarakat Indonesia yang sudah keluar dari garis kemiskinan masih rentan untuk kembali miskin.

Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat.

Dampak tersebut akan dirasakan, mulai dari rasa ketidakberdayaan masyarakat miskin, hingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menjual suaranya dalam pemilihan umum akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

"Mari kita toleh ke belakang, bagaimana dampak badai krisis 1998 memporak-porandakan ekonomi Indonesia. Dolar AS Rp 1.800 tiba-tiba melonjak menjadi Rp 16.000-an. Ada segelintir yang kaya mendadak karena punya simpanan mata uang asing, ada yang bangkrut karena terjerat utang valuta asing, dan teramat banyak rakyat yang merana dihantam kenaikan harga bahan pokok yang mencekik leher," tandasnya.

Kerusuhan sosial terjadi di hampir semua wilayah tanah air, anarkisme dan amuk massa telah berakibat bumi Indonesia bersimbah darah. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.

Amuk massa ini membuat para pemilik toko ketakutan dan menulisi toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi".

Saat ini, kata dia, Indonesia berada dalam arus globalisasi ekonomi dan budaya. Globalisasi adalah istilah baru. "Bila kita mencarinya dalam kamus-kamus bahasa Inggris yang terbit sebelum 1995, tidak ditemukan istilah globalization, hanya akan ditemukan perkataan global, globalism, globally, globe,".

Globalisasi adalah gejala meluasnya global networking yang dipacu oleh perkembangan komunikasi dan informasi menembus batas-batas dan sekat-sekat antar negara, dunia menjadi makin terbuka, hubungan sosial, politik, budaya dan ekonomi makin mengglobal.

Bung Hatta, sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 3 Februari 1946 telah mampu melihat ke depan dengan menegaskan perlunya Indonesia menyambung ekonomi nasional dengan ekonomi seluruh dunia. Bagi Hatta, globalisasi telah dilihatnya sebagai suatu kenyataan masa depan yang harus diantisipasi dan akan terjadi.

Sejak jauh hari pada tahun 1934, Bung Hatta telah menolak pasar-bebasnya Adam Smith, menolak kapitalisme, dan sebelum tahun 1930, saat memimpin Perhimpunan Indonesia pun, Bung Hatta telah dengan tegas menolak komunisme. Kemudian ketika dibuang di Boven Digoel pada tahun 1935, Bung Hatta mulai menggagas pemikiran yang kemudian terimplementasikan di Pasal 33 UUD 1945.

Bung Hatta bicara mengenai bagaimana menyambung ekonomi nasional dengan ekonomi global, adalah bahwa kita tetap berpedoman kepentingan nasional harus diutamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Dalam pandangan Bung Hatta itu, titik-tolaknya tetap berpegang teguh pada nasionalisme ekonomi.

Leah Greenfeld (2001) mengatakan "Nasionalisme pertama kali muncul di Inggris dan telah sangat mempengaruhi pandangan masyarakatnya, ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan dari suatu perekonomian modern ternyata tidak berlangsung secara berkesinambungan; pertumbuhan hanya akan berkelanjutan justru jika di dorong dan ditopang oleh nasionalisme''.

"llmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme. Aspirasi negara berkembang lebih tertuju pada tercapai dan terpeliharanya kemerdekaan serta harga diri bangsa daripada sekadar untuk makan," ujar Joan Robinson (1962)

Para penganut mazhab klasik menjagokan perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini menguntungkan bagi kapitalis Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia.

Nasionalisme ekonomi dan penguatan ekonomi nasional harus dimulai dengan menggairahkan pasar domestik, dan untuk itu dibutuhkan peningkatan daya beli rakyat. ***

Editor:Muslikhin Effendy
Kategori:Umum, Pemerintahan, Politik
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/