Home  /  Berita  /  Hukum

Penasehat Hukum Tolak Dakwaan JPU dalam Sidang Lanjutan Kasus Pajak Rp13 Miliar di Bukittinggi

Penasehat Hukum Tolak Dakwaan JPU dalam Sidang Lanjutan Kasus Pajak Rp13 Miliar di Bukittinggi
Ilustrasi (net).
Kamis, 22 Oktober 2015 03:05 WIB
Penulis: jontra
BUKITTINGGI - Persidangan kasus pajak yang melibatkan pengusaha berinisial YH di Bukittinggi kembali digelar di Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan agenda eksepsi atau nota keberatan Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Rabu (21/10/2015).

Dari sidang awal dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pekan lalu hingga sidang kedua Rabu kemarin, muncul beberapa kejanggalan yang terungkap, salah satunya tentang tuduhan kerugian negara dalam kasus itu.

Jika sebelumnya Kantor Pelayanan Pajak membeberkan jika pengusaha YH telah merugikan negara sebesar Rp13 miliar, namun dalam persidangan nilai tersebut membengkak menjadi Rp13,9 miliar.

Dalam dakwaan yang dibacakan JPU sebelumnya disebutkan, kerugian pendapatan negara sebesar Rp13,9 miliar itu terdiri atas tahun 2011 sebesar Rp1,5 miliar, tahun 2012 sebesar Rp6,1 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp6,3 miliar.

Namun dalam eksepsi, tim penasehat hukum terdakwa menilai, hitungan tersebut sangat lemah dan tidak akurat, karena diperoleh dari mutasi kredit yang berasal dari rekening milik terdakwa dan istri terdakwa dari mutasi kredit 12 rekening koran di bank. Menurutnya, tidak semua mutasi kredit itu berasal dari penjualan atau peredaran bruto usaha.

“Seharusnya bukan rekening koran yang dihitung, tapi dari peredaran bruto sehari. Berapa hasil penjualan sehari, berapa untungnya, berapa potongan biaya lainnya seperti gaji karyawan dan yang lainnya, seharusnya itu yang dihitung,” ujar Muhammad Yuner, salah seorang Penasehat Hukum terdakwa Muhammad Yuner, Rabu (21/10/2015).

Yuner menjelaskan, dari hitung-hitungan yang dilakukan oleh konsultan pajak dari pihak terdakwa, nilai pajak yang harus dibayarkan terdakwa hanya berkisar Rp1 miliar lebih, dan tidak mencapai angka Rp2 miliar, apalagi sampai Rp13,9 miliar.

Selain masalah hitung-hitungan nilai pajak tersebut, tim kuasa hukum terdakwa juga menyorot kewenangan Pengadilan Negeri Bukittinggi dalam mengadili kasus ini. Menurut Yuner, Pengadilan Negeri Bukittinggi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini (kompetensi absolut).

“Sesuai UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan suatu perangkat dan sarana hukum yang disediakan untuk menyelesaikan adanya sengketa perpajakan antara pembayar pajak dengan aparat pajak. Jadi, yang berhak untuk mengadili dalam kasus ini adalah Pengadilan Pajak, bukan Pengadilan Negeri,” ungkapnya.

Selain itu, tim kuasa hukum terdakwa juga menyinggung masalah penyidikan yang dilakukan pihak pajak. Menurutnya, pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan KUHAP (tentang penunjukan penasehat hukum, penyitaan, penahanan) dan penerapan pasal yang salah.

“Sesuai dengan pasal 56 KUHAP, semestinya setiap tingkatan pemeriksaan terdakwa wajib didampingi oleh penasehat hukum atau pengacara. Tapi faktanya, mereka tidak menunjuk penasehat hukum, dan tidak memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mencari pengacara.

Selain itu, seharusnya pelimpahan perkara ke kejaksaan dilakukan oleh Polri, bukan dari PPNS pajak,” jelas Yuner.

Banyaknya kelalaian penyidik pajak itu membuat tim kuasa hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim untuk menerima eksepsi penasehat terdakwa secara keseluruhan, menolak dakwaan JPU, membebaskan terdakwa dari dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan harkat dan martabatnya, serta membebankan semua biaya yang timbul akibat perkara ini kepada negara.

Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Dini Damayanti menunda sidang tersebut hingga Rabu pekan depan, dengan agenda mendengarkan tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum.(**)

Kategori:Bukittinggi, Hukum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/