Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
PSIS Semarang Terus Jaga Asa Tembus 4 Besar
Olahraga
8 jam yang lalu
PSIS Semarang Terus Jaga Asa Tembus 4 Besar
2
Kemenangan Penting Persija dari RANS Nusantara
Olahraga
8 jam yang lalu
Kemenangan Penting Persija dari RANS Nusantara
3
Arema FC Fokus Recovery Hadapi Laga Terakhir
Sepakbola
8 jam yang lalu
Arema FC Fokus Recovery Hadapi Laga Terakhir
4
Beri Kesempatan Pemain Minim Bermain, Marcelo Rospide Fokus Strategi Hadapi Persebaya
Olahraga
7 jam yang lalu
Beri Kesempatan Pemain Minim Bermain, Marcelo Rospide Fokus Strategi Hadapi Persebaya
5
Persebaya Ingin Menang dengan Kebanggaan di Laga Terakhir
Olahraga
7 jam yang lalu
Persebaya Ingin Menang dengan Kebanggaan di Laga Terakhir
6
Aditya dan Novendra Melejit, Temur Kuybakarov Terlempar dari Klasemen Sementara
Olahraga
4 jam yang lalu
Aditya dan Novendra Melejit, Temur Kuybakarov Terlempar dari Klasemen Sementara
https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/
Home  /  Berita  /  Politik

Pemilu Prosedural Tanpa Sukma Demokrasi

Pemilu Prosedural Tanpa Sukma Demokrasi
Ilustrasi Pemilu 2024. (Foto : Istimewa)
Minggu, 10 Desember 2023 19:08 WIB
Penulis: Azhari Nasution
JAKARTA - Menjelang hajatan pemilihan umum nasional, kita dihadapkan pada suatu pola dinamika yang sama dalam setiap pemilu, khususnya sejak orde reformaasi. Rakyat di dorong ke kubu-kubu yang sudah dikelola dengan teknik tertentu sehingga terlihat bahwa seolah terdapat suatu pertandingan dan persaingan dari dua kekuatan yang berjuang untuk memecahkan masalah yang dihadapi rakyat dengan pola pikir dan pola tindak yang berbeda.

Kita dikesankan bahwa terdapat persaingan yang sengit dan ketat untuk membawa Indonesia menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat yang akan menjadi mercusuar buwana. Sayangnya hal itu tidak terlihat dalam kenyataannya.

Kita tidak melihat hal itu muncul dari dinamika kontestasi kepemimpinan yang ada. Yang terlihat justru rakyat diminta untuk masuk dalam barisan dukung mendukung kubu-kubu kepemimpinan yang dikerucutkan dengan dorongan pasal tentang electoral threshold dari hasil pemilu yang sudah lapuk. Dan kemudian di muara barisan itu sudah tersedia pilihan pilihan yang satu sama lainnya hanya saling memperkuat untuk mengerahkan rakyat sebagai apa yang dikatakan Bung Karno sebagai ”bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.

Kita harus hentikan semua gerak arah dinamik rakyat yang menyesatkan ini. Menghentikan lahirnya pemimpin yang hanya berbicara tentang sumbangan kesalahan kepemimpinan masa lalu, tetapi tidak menjelaskan capaian tanggung jawab amanat yang diperjanjikan di depan rakyat sehingga membuatnya terpilih untuk mengemban tugas dan cita cita mulia tersebut.

Cita-cita mulia itu adalah menjadikan rakyat sebagai yang utama dan terutama, sebagai subjek dan objek pembangunan, sebagai mutu manikam serta yakut dan marjannya Indonesian First. Karena, terus terang, kita tidak melihat di mana mana ada yakut dan marjan Indonesia First yang bersinar kecuali hanya menjadi penonton dari semua gerak pembangunan oleh asing di pusat pusat ekonomi, keuangan, perdagangan dan industri yang totalitas kinerjanya lebih berfungsi untuk melemahkan fundamen kedaulatan dan sistem ketahanan nasional kita.

Kelemahan fundamental yang kita alami tidak bisa diobati dengan menatap hasil survei dan polling elektibilitas kemudian ditanggapi melalui berbagai penampilan berdasarkan arahan yang bernuansa dagelan untuk membidik kalangan tertentu yang dianggap dhaif dalam penilaian substansial keberhasilan penunaian amanat kepemimpinan. Tetapi ia harus dijawab dengan ketulusan dan komunikasi substansi, dengan determinasi dan cinta untuk memenangkan kebijakan yang pro rakyat, dengan keberanian untuk mengatakan tidak pada semua penyanderaan yang membuat rakyat tidak menjadi yang utama dan terutama. Dan terutama juga, dengan menyelesaikan akar masalahnya di semua bidang kehidupan dan sektor pembangunan.

Bila langkah koreksi tidak diambil maka pada akhirnya dinamika ini hanya akan memenangkan siapapun sebagai presiden tetapi keluhan rakyat yang sama akan tetap terjadi sebagaimana telah ditunjukkan terutama sejak orde baru hingga orde reformasi.

Sejatinya bayangan kehancuran itu bukan karena dorongan cerita fiksi manapun tetapi  pernah hampir kita alami berkali kali, hanya saja kita bisa atasi dengan asset kebangsaan yang kita miliki. Namun, dengan tergerusnya asset kebangsaan kita akibat kejumudan periodikal dari demokrasi prosedural yang telah disandera dan dihegemoni oleh supremasi kepentingan yang asing dari kepentingan nasional kita, maka akankah kita masih miliki sumberdaya hikmat kebijaksanaan yang memadai untuk menyelamatkan kita dalam menghadapi tantangan badai kelemahan struktural yang mengurung kita. Terutama ketika nasib rakyat secara orisinal, dari latar belakang agama dan etnis manapun, tidak menjadi sumber dan tujuan cita-cita kita dalam berdemokrasi dan berkebangsaan.

Penulis: Fauzan Anyasfika, Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). ***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/