Home  /  Berita  /  Umum
Mengenang dr Achmad Mochtar (Bagian 5)

Ini Perjuangan 2 Profesor Menguak Misteri Kematian Tragis Ilmuwan Sumatera Barat dr Achmad Mochtar

Ini Perjuangan 2 Profesor Menguak Misteri Kematian Tragis Ilmuwan Sumatera Barat dr Achmad Mochtar
Makam Achmad Mochtar (Foto: AN Uyung Pramudiarja)
Selasa, 01 September 2015 00:03 WIB
Penulis: .
JAKARTA, GOSUMBAR.COM - dr Achmad Mochtar, direktur pribumi pertama Lembaga Eijkman dipaksa mengaku bersalah menyabotase vaksin yang menyebabkan ratusan romusha tewas. Dia kemudian dipancung dan jasadnya dilindas mesin.

Butuh waktu 65 tahun, sejak kematiannya, untuk mengungkap penyebab kematian dr Achmad Mochtar itu. Profesor Dr Sangkot Marzuki mulai mencari kebenaran dari kematian dr Achmad Mochtar, saat tahun 1992 dia dipanggil Menristek BJ Habibie, untuk menghidupkan kembali pusat riset biologi molekuler Lembaga Eijkman.

''Kan mulainya ini bertingkat. Waktu saya mulai, bukan mau mengangkat awalnya sih, ingin mendapat kejelasan, lebih ke arah pribadi, waktu itu saya direktur Lembaga Eijkmen,'' demikian kisah Prof Sangkot saat berbincang dengan detikcom di kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Kompleks Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2015) lalu.

Saat hendak menghidupkan kembali Lembaga Eijkman, Sangkot menerima sebuah buku berwarna hijau. Buku itu berisi sejarah Lembaga Eijkman, termasuk tentang data dan sejarah dr Achmad Mochtar.

"Itu menjadi obsesi untuk satu waktu saya ingin meluruskan sejarah mengenai direktur lembaga yang saya pimpin. Orang Indonesia yang dituduh oleh Jepang, melakukan kalau zaman sekarang namanya bioterorisme," tegas Prof Sangkot.

Mulailah Prof Sangkot meneliti, mengumpulkan data, dibantu dengan koleganya dari Oxford, Profesor J Kevin Baird. Ide menuliskan buku ini bermula pada 2006, saat Prof Sangkot bercerita kepada Prof Baird yang ditindaklanjuti menggali fakta-fakta yang terjadi dalam peristiwa tewasnya ratusan romusha di Klender, Jakarta Timur, pada 1944, yang berujung pada eksekusi mati dr Achmad Mochtar.

"Kevin masuknya belakangan, dia punya mahasiswa PhD yang mau dilibatkan, kerjanya di Eijkman tapi dia mau kuliah ke Oxford," tutur Sangkot.

Mahasiswa doktoral bimbingan Baird itu kemudian diminta Baird untuk menulis sejarah Lembaga Eijkman. Mahasiswa ini kemudian datang ke Sangkot dan diberitahukanlah sejarah dr Achmad Mochtar.

Hasil konsultasi dengan Sangkot, kemudian dilaporkan mahasiswa tersebut kepada Baird. Belakangan, justru Baird lah yang lebih terobsesi dan bergairah mencari fakta-fakta sejarah itu.

"Tentang tidak fairnya Jepang segala macam. Dia (Baird) langsung dengan saya, 'Ayo kita tulis'. Semua kerjaannya ditinggalkan untuk menulis itu 3 bulan. Draft pertama 3 bulan. Totalnya 3 tahun (menulis buku)," ungkap Sangkot.

Selama 3 tahun itu, Sangkot dan Baird mencari sumber, dokumentasi dan wawancara saksi yang masih hidup dan mencari dokumen hingga ke Australia. Dokumen yang secara tidak langsung mendukung dugaan tersebut adalah arsip pengadilan di Australia terkait kejahatan perang yang berlangsung tahun 1945. Pengadilan terebut menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap tokoh militer Jepang, Hirosato Nakamura.

Dalam peristiwa yang berbeda dari tragedi Klender, Nakamura dinyatakan bersalah karena menewaskan 15 dari 17 narapidana di Indonesia dalam sebuah uji coba vaksin tetanus. Sementara 2 narapidana lainnya dieksekusi mati, agar tidak membocorkan eksperimen yang gagal tersebut.

"Setelah itu kan kita interview orang. Dia (Baird) 3 bulan nggak ngerjain apa-apa, kaya orang kesurupan. Staf-stafnya bilang, 'Segera nih (menerbitkan buku), kalau nggak dia nggak ngurusin labnya'," tutur Sangkot.

Buku tersebut akhirnya terbit pada Mei 2015 dengan judul "War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine" dan diluncurkan lebih dulu dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat. Bukunya belum beredar di Indonesia dan hanya bisa dipesan melalui Amazon.

"Kisah tentang Prof. Achmad Mochtar merupakan drama kemanusiaan yang terjadi dalam kurun waktu yang amat bersejarah untuk Indonesia, dan terjalin dari berbagai peristiwa militer dan politik pada periode 1942-1945," ujar Sangkot seperti dikutip dari situs AIPI, aipi.org, dalam artikel yang diunggah 3 Juli 2015 lalu.

Ia menyadari bahwa buku tersebut dapat dianggap membuka kembali luka lama saat hubungan antara Indonesia dan Jepang kini terjalin erat. Namun mereka merasa sejarah tetap perlu diluruskan.

Terlebih, peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan terhentinya aktivitas Lembaga Eijkman tetapi juga berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Achmad Mochtar kala itu merupakan salah satu ilmuwan terbaik yang dimiliki Indonesia.

"Kalau sekiranya Mochtar tidak dipancung, mungkin ilmu pengetahuan Indonesia tidak habis begini," katanya. ***

Sumber:detik.com
Kategori:Umum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/