dr Achmad Mochtar Jadi Kambing Hitam Penyebaran Virus Maut Bagi Romusha
Penulis: .
Penjajah Jepang ingin menyelidiki kematian romusha massal ini. Maka, minta tolonglah Jepang kepada Lembaga Eijkman yang kala itu sudah dipimpin oleh dr Achmad Mochtar.
"Dalam ilmu kedokteran waktu zaman Jepang, kalau ada yang mati begitu, mereka minta autopsi. Dokter-dokter kita saat itu kan didikan Belanda," jelas Prof Sangkot Marzuki, ilmuwan biologi molekuler yang dipanggil Menristek saat itu, BJ Habibie, untuk menghidupkan kembali Lembaga Eijkman tahun 1992 dan memimpin lembaga itu hingga tahun 2014.
Hal itu dikatakan Sangkot kala berbincang dengan detikcom sebagaimana dikutip GoSumbar.com di kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Kompleks Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2015) lalu.
Sangkot menjelaskan, metode autopsi itu adalah menyayat tempat suntikan pada jasad-jasad para romusha. Para ilmuwan Eijkman melihat kemungkinan apakah ada bakteri tetanus yang membuat para romusha tewas.
"Nah memeriksanya di Lembaga Eijkman," tuturnya.
Seorang ilmuwan yang terlibat memeriksa, menurut Sangkot, bernama Yatman. Saat diperiksa Kenpetai, polisi militer Jepang, Yatman mengatakan bahwa tidak ada bakteri tetanus yang ditemukan pada para jasad romusha itu.
Untuk membandingkannya, hasil autopsi jasad para romusha itu dibandingkan dengan sampel kontrol, alias sampel alami yang tak diberikan tindakan apapun, yakni memeriksa bakteri serupa pada penderita tetanus.
"Dan ada kontrolnya kebetulan, ada pasien di RS. Kebetulan ada kontrol, dari orang di kaki yang tetanusan itu diperiksa apakah betul ada tetanusnya. Diperiksa bersamaan. Dan dia (sampel kontrol) positif. Jadi tekniknya oke kan? Kalau nggak ada (sampel kontrol) kan bisa dituduhkan bahwa metode kamu nggak jalan," jelas pria yang juga menjabat sebagai ketua AIPI ini.
Karena tidak ditemukan bakteri pada sayatan jasad tempat suntikan, misteri berikutnya yang harus dipecahkan, apakah ada toksin? Nah, menemukan ada atau tidaknya toksin itu harus mengekstraksi sayatan itu.
Maka para ilmuwan di Lembaga Eijkman mengekstraksi sayatan tersebut. Setelah diekstraksi, kemudian hasil ekstraksi itu disuntikkan ke tikus.
"Kalau ada toksinnya tikusnya kejang. Kalau tidak ada, normal. Ternyata, tikusnya kejang semua. Dan parahnya, mati. Berarti kan banyak toksinnya. Jadi di tempat itu (sayatan jasad tempat suntikan), masih banyak sekali toksinnya," papar Sangkot.
Penjajah Jepang yang tadinya meminta Lembaga Eijkman untuk memeriksa dan mengautopsi jasad para romusha itu, kini malah balik menuduh bahwa Lembaga Eijkman yang dipimpin dr Achmad Mochtarlah yang mencemari vaksin TCD itu. dr Achmad Mochtar dituduh mempimpin gerakan sabotase melawan Jepang, dengan mencemari vaksin dengan bakteri dan toksin tetanus yang menyebabkan ratusan romusha tewas.
Faktanya, yang kemudian ditelusuri oleh Profesor Dr J Kevin Baird, Kepala Eijkman-Oxford Clinical Research Unit bersama Sangkot, ternyata, vaksin mematikan itu merupakan percobaan medis yang dilakukan militer Jepang. Percobaan medis yang gagal.
Para romusha ternyata dijadikan 'kelinci percobaan' vaksin tetanus yang dibuat oleh dokter Jepang, sebelum vaksin itu disuntikkan kepada para tentara dan pilot tempur Jepang.
Untuk menutupi kesalahan Jepang sendiri, penjajah Jepang mencari kambing hitam. Menuduh para ilmuwan di Lembaga Eijkman, yang memang saat itu juga tengah terlibat mengembangkan vaksin.
Kembali ke tahun 1944, dr Achmad Mochtar dan para ilmuwan yang dikomandaninya berada di ujung tanduk karena difitnah Jepang. Oktober 1944, semua ilmuwan di Lembaga Eijkman ditangkap Jepang. ***
Sumber | : | detik.com |
Kategori | : | Umum |