Home  /  Berita  /  GoNews Group

Meneropong Tradisi Cheng Beng di Kota Medan

Meneropong Tradisi Cheng Beng di Kota Medan
Senin, 26 Maret 2018 14:07 WIB

Medan - Ceng Beng (ada juga menulis Cheng Beng) adalah tradisi ziarah kubur yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat etnis Tionghoa sejak beribu tahun lalu.

Tradisi itu dilakukan untuk mengenang kebaikan orangtua/leluhur. Pada hari itu masyarakat Tionghoa berbondong-bondong berziarah ke makam orangtuanya/leluhurnya untuk berdoa dan menyampaikan ucapan terima kasih.

Mereka berziarah tidak tangan kosong. Ada yang membawa buah-buahan, makanan yang disukai orangtua maupun kertas berupa uang-uangan. Uang-uangan itu dibakar sebagai simbol agar di hari depan mereka mendapat rezeki yang lebih banyak lagi. Mereka juga akan membagi-bagikan angpau sebagai derma atas rezeki yang telah mereka peroleh selama ini.

Menurut kebiasaan masyarakat Tionghoa, Ceng Beng digelar 15 hari setelah perayaan Cap Go Meh. Ceng Beng disebut juga Qing Ming yang berarti cerah dan cemerlang. Puncaknya jatuh pada setiap tanggal 5 April, di mana pada hari itu posisi matahari berada dalam posisi sempurna. Yakni berada di garis khatulistiwa. Karena itu Ceng Beng disebut juga Qing Ming yang berarti hari cerah dan cemerlang.

Menurut sejumlah sumber, tradisi Ceng Beng dilatarbelakangi berbagai cerita. Salah satunya tentang keberhasilan masyarakat China mengatasi bencana banjir bah, pada abad ke-22 SM.

Dikisahkan, akibat hujan terus-menerus yang membuat sungai-sungai meluap. Kondisi itu membuat masyarakat jadi sangat menderita.

Pada satu hari, hujan berhenti dan cuaca mendadak terang. Matahari bersinar dengan sempurna. Melihat itu orang-orang bergembira dan menyebut hari itu sebagai hari "kebangkitan". Hari peralihan untuk membuang unsur negatif (Yin) dan memasuki unsur positif (Yang)

Ada juga versi yang menyebut tradisi Ceng Beng bermula dari kisah seorang raja yang menjadi tawanan perang musuhnya. Setelah berhasil mengumpulkan pengikutnya ia melakukan serangan balasan dan berhasil melepaskan diri dari tawanan. Namun ketika ia kembali ke istananya ia mendapati orangtuanya dan keluarganya telah meninggal.

Tak seorang pun tahu di mana orang yang dikasihinya itu dikuburkan. Karenanya, ia memerintahkan masyarakat melakukan ziarah massal. Hari yang dipilih adalah hari di mana ia berhasil melepaskan diri dari tawanan musuh.

Di Sumut tradisi Ceng Beng biasanya berlangsung ramai. Sejumlah perkuburan. Tionghoa yang ada di daerah ini, seperti di Delitua, Tanjung Morawa, Binjai maupun yang ada di Medan, akan ramai dikunjungi peziarah. Para peziarah ada yang datang dari Jakarta, Malaysia, Hongkong dan Singapura.

Hal itu diakui salah seorang warga Tionghoa yang berdomisili di Tanjung Morawa Kota, Veronica Lim. Vero mengaku tradisi Ceng Beng sudah menjadi warisan turun-temurun keluarganya. Mereka yang merantau akan pulang untuk berziarah ke makam orangtuanya.

"Ceng Beng ini bagi kami penting karena saat itu kami akan berkumpul untuk ziarah ke makam orangtua maupun nenek kami. Yang merantau pulang kampung dulu. Kalau enggak nanti dianggap tak berbakti," ujar Veronica Lim.

Pengajar di salah satu sekolah swasta di Tanjung Morawa ini menjelaskan, tahun ini keluarganya akan berziarah bersama pada Jumat (30/3/2018). "Jumat kan ada libur merah. Jadi kami pilih hari itu untuk berziarah. Kalau hari lain susah ngumpulnya," akunya.

Bagi Veronica, Ceng Beng sangat penting dirayakan. Menurutnya, itu mempunyai nilai-nilai positif.

"Menghormati arwah orangtua bagi kami sudah menjadi kewajiban anak. Kalau anak tak menghormati orangtuanya meskipun sudah meninggal, nanti nasibnya jelek, katanya.

Editor:wen
Sumber:medanbisnis
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Umum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/