Home  /  Berita  /  GoNews Group
Opini

KONI untuk Negeri

KONI untuk Negeri
Wartawan Senior olahraga, M Nigara. (dok. Pribadi)
Senin, 30 Oktober 2017 13:19 WIB
Penulis: M. Nigara
OLAHRAGA selalu, hanya dilihat sebagai suatu kegiatan fisik semata. Padahal, olahraga adalah sesuatu yang jauh lebih bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Olahraga telah menjadi garda terdepan bagi bangsa ini. Olahraga telah menanamkan kesadaran patriotisme dan  telah berhasil  membangkitkan kesadaran untuk memerdekaan bangsa dari penjajah.

Tidak hanya itu. Di era setelah kemerdekaan, olahraga berulangkali dipergunakan oleh pemetintah untuk menjadi alat terdepan membela bangsa. Kisah PON-I Surakarta 1948 misalnya. Disaat Belanda berkampanye untuk kembali ke Nusantara setelah Jepang kalah perang, Soekarno-Hatta disebut sebagai ektremis.

Kita menjawabnya dengan menggelar PON. Padahal, kita belum selesai membahas pembagian propinsi. Bahkan kita belum memiliki atlet yang cakap. Tapi, pekan olahraga nasional itu perlu kita gelar agar dunia tahun bahwa Indonesia itu ada dan telah berdaulat.

Tidak berhenti sampai di situ. Bung Karno kembali menggunakan olahraga sebagai alat utama untuk menyatukan anak bangsa dan menjadi corong bagi dunia. Tahun 1962 kita menjadi tuan rumah Asian Games ke-IV serta 1963 menggelar Ganefo (pesaing Olimpiade) pertama. Dua tahun sebelumnya, kita membangun komplek keolahragaan yang kemudian dikenal sebagai Gelora Bung Karno.

Masih banyak contoh lain tentang pemanfaatan dunia olahraga untuk bangsa. Tapi, bersamaan dengan itu, kita juga terus-menerus menyaksikan betapa dunia olahraga kita makin lama makin tersudut. Atlet, pelatih, dan pembina olahraga kita makin tak dipandang dengan baik dan benar.

Nasib KONI

Tengoklah KONI, komite yang sepanjang hayatnya terus berjuang untuk dan demi bangsa, nasibnya makin buram. Padahal, usia KONI 'tujuh tahun' lebih tua dari republik.

Diawali dengan lahirnya PSSI (1930), Pelti dan Perbasi (1935) --catatan: Dulu Pelti belum disingkat. Para pendahulu masih menggunakan nama Persatuan 'Lawn-tennis Indonesia' serta Perbasasi masih disebut Bola Keranjang dan Sepakbola masih bernama Sepakraga, lalu disepakati untuk melahirkan ISI (Ikatan Sport Indonesia) tahun 1938.

Ketiga cabor baru bersepakat untuk membuat induk yang metreka sepakati bernama ISI. Tanggal 15 Oktober 1938, di kota Batavia, organisadi itu dibentuk. Mengapa ISI perlu didirikan? Bukankah cabor baru tiga? Jawabnya tegas: "Agar dunia tahun bahwa bangsa Indonesia itu ada!". Untuk memperkokohnya, ISI lalu menggelar kejuaraan yang dikemudian hari dijadikan model untuk PON.

Tidak mudah, pasti. Untuk melaksanakan event pertama itu, ISI berulang kali memperoleh ancaman. Malah untuk melakukan rapat pun, para pejuang olahraga itu harus berpindah-pindah tempat serta melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

ISI lalu berubah-ubah bentuk, setelah dibekukan oleh penjajah Jepang 1942. Namun para pejuang olahraga kita tak pernah menyerah. Jalan panjang dan berliku hingga akhirnya nama KONI dipilih sebagai induk untuk cabor-cabor.

KONI sejak masih bernama ISI, terus bertugas menjalankan tugasnya untuk kepentingan bangsa dan negara. KONI meski tak pernah menjadi lembaga pemerintah, tapi fungsinya jelas dan tegas untuk kejayaan dan keharuman nama bangsa dan negara.

Tapi, setelah lahirnya UU-SKN no.3 tahun 2005, tiba-tiba KONI seperti anak tiri yang disapih oleh ibu barunya. KONI jadi seperti Gadis cantik yang bernama Chinderela. Meski jelas tanah  rumah, dan harta adalah milik sang ayah, namun ketika sang ibu kandung wafat, ibu tiri dan saudara tirinya justru sekonyong-konyong menjadi penguasa. Apalagi setelah sang ayah wafat.

Sang gadis cantik berubah menjadi budak. Bukan hanya itu, seluruh geraknya dibatasi. Bahkan makan pun diberi seadanya. Tapi sang gadis tak mau dan tidak pernah menyerah. Endingnya kita tahu semuanya.

Kembali ke KONI. ISI adalah pondasi yang dibangun oleh para pendahulu dan kemudian menjadi rumah besar bernama KONI. Cabor adalah anak-anak yang berkembang dan besar dalam bangunan yang pondasinya telah ada sejak 1938.

KONI bersama cabor, tentu atlet, pelatih, dan pembina di dalamnya, telah pula bahu-membahu mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di kancah dunia. Sepuluh kali Indonesia menjadi juara umum di tingkat Asean, berulangkali di event internasional lainnya. Semua adalah bukti bahwa KONI lahir untuk negeri.

Bung Karno dan Pak Harto

Bung Karno, Pak Harto adalah dua sosok pemimpin yang memberikan dukungan sangat dahsyat. Di masa itu, tak secuil pun kesulitan dihadapi KONI. "Membangun olahraga membangun bangsa," kata Bung Karno. Dan, "Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat!" lanjut Pak Harto.

Bahwa ada oknum tertentu yang memanfaatkan dukungan maksimal itu untuk kepentingan pribadi ata kelompoknya, tapi KONI sendiri tidak melakukan hal itu. KONI tetap berada di jalurnya membina, mengorganisir, menyatukan, dan melahirkan kebanggaan.

Contoh paling nyata adalah ketika Sultan Hamengkubuwono IX memimpin 1966-1983, KONI tidak melakukan 'aji mumpung'. Padahal, jika Sultan HB atau KONI mau beraji mumpung, mungkin KONI telah memiliki rumah sendiri. Memiliki venue sendiri. Memiliki kekayaan sendiri. Dan KONI tidak seperti sekarang. Saat Sultan HB IX memimpin bukannhanya menjadi Ketum KONI tapi juga ketum KOI. Beliau juga menjadi mempin GBK. Sultan mundur dari KONI karena dipilih Pak Harto menjadi Wakil Presiden.

Sekali lagi, KONI tidak menjalankan aji mumpung itu. Padahal jika saja mau, maka nasib KONI tak seperti saat ini. Sultan yang amat dekat dengan Pak Harto, bisa saja mengangkat dan menempatkan KONI di posisi yang lebih baik dari posisinya sekarang. Bahkan, KONI bisa juga diberi kuasa untuk mengelola GBK.

Tapi, semua tak dilakukan. Sultan percaya bahwa KONI akan terus menjadi partner utama pemerintah. Sultan sudah memperlihatkan dan mengajarkannya selama 17 tahun. Sayang, selepas reformasi 1998, diawali oleh Presiden Gusdur yang secara tiba-tiba menghapus kemenpora tetapi tidak mengalihkan pada KONI. Sejak itu, dunia olahraga memulai masuk ke dalam ketidakpastian.

Puncaknya terjadi ketika UU-SKN no-3 tahun 2005 lahir. Peran KONI sungguh-sungguh berada dalam ruang yang hampa udara. Ditambah lagi ada oknum-oknum yang karena masa tugasnya di KONI telah selesai, melakukan persekongkolan untuk memadamkan aoi gelora KONI.

Oknum-oknum itu ingin menghapus sejarah tentang peran dan hasil kerja KONI selama puluhan tahun. Intinya, mereka sesungguhnya tak ikhlas keluar dari KONI, tetapi fakta memaksa mereka tersingkir.

Bulan ini, KONI genap 79 tahun. Seperti di masa awal berdirinya 1938, KONI akan terus setia menopang tugas negara di jalur olahraga. KONI dan para pengurus besar cabor yang menjadi anggotanya, akan tetap bahu membahu untuk kepentingan bangsa yang jauh lebih besar lagi. KONI tak akan berhenti berbuat dan berbakti. "Semua yang kita lakukan  untuk keharuman bangsa dan negara!" begitu ucapan tegas Tono Suratman, Ketua Umum KONI ke-8.

Akankah nasib KONI akan sama dengan Cinderella? Tak seorang pun yang tahu. Yang pasti _Gusti Allah mboten sare_ (Allah SWT tidak tidur). Dan, semakin Allah mencintai umatnya, semakin berat ujiannya. Tetapi, percayalah yang terbaik pasti akan segera datang, aamiin.

Selamat ulang tahun KONI!. M. Nigara, Merupakan Wartawan Olahraga Senior Indonesia

Editor:Muslikhin Effendy
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Pemerintahan, Olahraga
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/