Home  /  Berita  /  Hukum

Presiden atau DPR, di Barisan Mana Kejaksaan Berdiri Nanti

Presiden atau DPR, di Barisan Mana Kejaksaan Berdiri Nanti
Gedung Kejaksaan Agung RI di Jakarta. (foto: dok. ist./kompas.com)
Kamis, 22 April 2021 15:18 WIB
JAKARTA - RUU (Rancangan Undang-Undang) Kejaksaan-sebagai bentuk revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia-yang merupakan inisiatif Komisi III DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) telah berproses di Baleg (Badan Legislasi) dan akhirnya disetujui pimpinan DPR RI untuk dibahas di Komisi III.

Selanjutnya, Komisi III DPR RI bisa menggelar rapat-rapat (Rapat Dengar Pendapat Umum dan Rapat Dengar Pendapat). Sembilan fraksi yang ada di Komisi III DPR RI juga bisa menyusun DIM (daftar inventaris masalah). Proses di Komisi III tinggal menunggu masuknya Surpres (Surat Presiden) dari Presiden Jokowi yang menunjuk perwakilan pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama DPR.

Substansi yang mengemuka adalah penguatan lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut dalam proses hukum (termasuk kasus korupsi), dan bagaimana koordinasi Kejaksaan dengan lembaga penegak hukum lain seperti Polri dan KPK. Tapi mengemuka juga wacana agar Jaksa Agung tak lagi dipilih oleh Presiden RI melainkan melalui proses Pansel dan pengujian di DPR RI agar Jaksa Agung terjamin independensinya dari kekuasaan presiden. Artinya, diawacanakan agar Pasal 19 UU 16/2004 yang mengamanatkan bahwa Jaksa Agung merupakan pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden, untuk diubah.

Menurut Peneliti Parlemen dari Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), Lucius Karus, Presiden Jokowi akan segera mengirim Surpres tanpa tertawan oleh wacana yang 'memangkas' kewenangannya itu.

"Presiden akan secepatnya mengirimkan Surpres ke DPR setelah misalnya meminta Kejaksaan Agung untuk melakukan proses pembahasan pada masa sidang mendatang. Mungkin juga ada ruang yang diberikan pada Kemenkumham nanti yang akan ikut dalam pembahasan," kata Lucius kepada GoNEWS.co, Rabu malam.

Menurut Lucius, memberi ruang pada presiden untuk memilih Jaksa Agung sebagaimana amanat Pasal 19 tersebut, masih lebih baik ketimbang merubah pasal itu lalu DPR turut menggelar pengujian. Tapi, "Tetap penting untuk memastikan menjaga independensi Jaksa Agung sehingga menguji model seleksi yang tepat saya kira penting untuk dijadikan bahan diskusi selama proses pembahasan,".

Sebagai catatan, Menkumham, Yasonna Laoly adalah rekan separtai Presiden Jokowi.

Tidak Membeo Kekuasaan

Dalam catatan GoNEWS.co, setidaknya ada Direktur Eksekutif IJRS (Indonesia Judicial Reseach Society), Dio Ashar Wicaksana dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi yang mendorong agar Jaksa Agung bisa independen dan jauh dari campur tangan kekuatan eksekutif.

Tapi, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpandangan, persoalan independensi bukanlah persoalan tata cara pemilihan seseorang dalam jabatan tertentu, melainkan kembali pada integritas personal pejabat terpilih tersebut.

Ia mengatakan, "Hampir pada batas tertentu memang mereka (Jaksa Agung, Kemenkumham bahkan Polri, red) cukup terkesan-saya tidak bilang membeo-mereka seperti berada betul di garis presiden,". Tapi, Ia menegaskan, independensi sendiri menurut sebagian Ahli Tata Negara adalah omong kosong karena tidak pernah ada yang sungguh-sungguh independen.

Di Amerika, tutur Margarito, Jaksa Agung terakhir di masa Presiden Trump juga tercatat 'membebek' pada Trump. Tapi pernah terjadi di masa lampau, Jaksa Agung Elliot L. Richardson menolak salah satu perintah Presiden Richard Nixon. "No. Presiden saya tidak mengabdi pada Anda, saya mengabdi pada keadilan," kisahnya.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Hukum, Politik, Nasional
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/