Home  /  Berita  /  GoNews Group

RUU Omnibus Law Ciptaker Muat soal Penyiaran dan Jadi Bahaya, Cabut atau Ubah?

RUU Omnibus Law Ciptaker Muat soal Penyiaran dan Jadi Bahaya, Cabut atau Ubah?
Kapoksi I Fraksi PPP DPR RI, Syaifullah Tamliha. (Foto: Zul/Gonews.co)
Selasa, 11 Agustus 2020 15:28 WIB
JAKARTA - Penyiaran di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang (UU) 32/2002 dan UU 24/1997. Dan UU ini tengah direvisi, bahkan telah berlangsung lebih dari dua periode jabatan DPR RI. Kendalanya lawasnya, ada di Baleg, menurut Kapoksi I Fraksi PPP DPR RI, Syaifullah Tamliha.

Sementara itu, DPR juga saat ini tengah memproses RUU Omnibus Law Ciptaker. Dan beberapa pasal di RUU Ciptaker itu, memuat soal Penyiaran. Sayangnya, muatan soal penyiaran di RUU Omnibus Law Ciptaker itu menyisakan banyak persoalan serius.

Karenanya, Syaifullah Tamliha menekankan pentingnya sinkronisasi antara RUU Penyiaran dan RUU Omnibus Law.

"Ada yang tidak sinkron antara RUU Penyiaran dengan RUU Omnibus Law (Ciptaker, red), sehingga harus dibahas secara komprehensif. Kita berharap (kedua RUU itu, red) berjalan aecara paralel. Jadi RUU Penyiaran berjalan, Omnibus Law berjalan," kata Tamliha kepada wartawan parlemen, Selasa (11/8/2020), saat ditanya 'Apa yang menjadi dorongan fraksi PPP, merubah muatan penyiaran di Omnibus Law atau mencabutnya dari Omnibus Law?'.

Keselarasan kedua RUU ini ditegaskan Tamliha sangat penting, sebab, "Ini bahaya,".

"Karena menyangkut soal LPS, karena pembiayaan bisa dari asing," kata Tamliha.

Tamliha, dikenal sebagai legislator yang konsen terhadap efektifitas sebuah UU. Baginya, muatan sebuah UU harus tepat dan visioner sehingga tidak harus direvisi dalam waktu dekat, karena proses revisi tidak selalu berjalan mulus seperti RUU Penyiaran yang telah memakan waktu lebih dari dua periode masa jabatan DPR RI.

Belum lagi jika bicara efisiensi anggaran. Jika peneliti menyebut angaran 1 UU bisa mencapai Rp 70 miliar untuk satu masa sidang, Tamliha menyatakan, bisa lebih dari itu, tapi tentu soal anggaran bukan kewenangan Komisi I. Dan RUU Penyiaran termasuk yang "agak ringan," biayanya karena tak memerlukan kunjungan ke negara asing dalam prosesnya.

Beberapa saat sebelumnya, Tamliha menjadi pembicara dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk 'RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?' di DPR, Selasa. Turut hadir sebagai pembicara, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kemenkominfo, Prof. Dr. Henri Subiakto. Hadir juga secara virtual, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari.

Mengutip pemberitaan yang lalu, ada 5 isu krusial substantif dan 12 catatan kritis PPP terkait penyiaran yang menjadi muatan RUU Omnibus Law Ciptaker. Yakni di perubahan pasal 16, pasal 17, pasal 25, pasal 33, dan pasal 60-61.

"Warga Negara Asing dapat menjadi pengurus lembaga penyiaran swasta sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1), hanya untuk bidang keuangan dan teknik," bunyi pasal 16, yang menurut PPP, "tidak terlalu penting menunjuk WNA untuk bidang Keuangan karena masalah ini sudah dapat dikerjakan oleh SDM WNI yang cukup kompeten,".

Menurut Syaifullah Tamliha, "untuk masalah teknik justru kita harus berhati-hati karena terkait dengan kemampuan pengelolaan multipleksing yang terkait dengan kapasitas frekuensi di setiap wilayah siar. Perlu dipahami bahwa frekuensi adalah SDA terbatas yang harus dikuasai negara dan bukan justru dikelola WNA oleh LPS,".

Soal WNA ini hanyalah satu dari 12 catatan kritis Syafullah dan PPP atas Ombuslaw Ciptaker saat ini.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Umum, Politik, Nasional, GoNews Group
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/