Home  /  Berita  /  Feature

Kisah Mualaf Jaksa Farai Museta, Bermula dari Guru Ateis yang Mendorongnya Berpikir Kritis

Kisah Mualaf Jaksa Farai Museta, Bermula dari Guru Ateis yang Mendorongnya Berpikir Kritis
Farai Museta. (republika.co.id)
Sabtu, 08 Agustus 2020 09:39 WIB
HARARE - Farai Museta memutuskan bersyahadat (memeluk agama Islam) pada 2008. Keputusan pindah keyakinan itu bukan diambilnya secara tiba-tiba, melainkan setelah melalui pencarian yang panjang.

Dikutip dari Republika.co.id yang melansir dari Chronicle, Sabtu (1/8) lalu, saat menyelesaikan tingkat lanjutan di sekolah pada akhir 1990-an, seorang guru Sastra Inggris yang ateis mendorong murid-muridnya bersikap dan berpikir kritis, serta tidak pernah melihat hal-hal pada nilai nominal.

Dia mengatakan, gurunya sangat mengkritik agama. Hal ini malah mendorongnya untuk mencari kebenaran.

Museta, yang sekarang memiliki nama Muslim, Fareed Abdul, yang berarti pelayan unik yang paling kuat, tidak pernah menyesal menjadi Muslim.

Museta mengisahkan, ketika dalam proses menemukan keyakinannya, dia secara ekstensif meneliti berbagai agama. Tetapi, ia merasa paling tersentuh dengan Islam.

Meskipun tidak berbagi seberapa besar kontradiksi yang ia dirasakan terhadap Alkitab, Museta mengatakan, dia tidak pernah melihat ke belakang sejak masuk Islam dengan istri dan tiga anaknya di tahun 2008. Di keluarga besarnya, ia merupakan satu-satunya yang masuk Islam.

''Pertanyaan saya tentang konsep Tuhan dimulai ketika masih di sekolah menengah. Saya pikir ketika saya di Lower Six. Antara tahun 1998 dan 1999, saya memiliki guru sastra Inggris seorang ateis dan mengajarkan kami untuk menjadi pemikir dan pembaca yang kritis. Dia sering mengkritik agama,'' ujarnya.

Ia lantas mulai membaca kitab agama yang dianut keluarganya dengan pendekatan yang lebih kritis, bukan dari segi spiritual melainkan sebagai buku. Ketika ia melakukan hal tersebut, ia menemukan banyak kontradiksi.

Museta merasa banyak pertanyaan yang sepertinya tidak dijawab oleh imannya ketika itu. Ia lantas mulai mempertanyakan agama-agama lain dan gagasan tentang Tuhan.

Satu dekade kemudian, setelah ia menyelesaikan sekolah menengahnya, saat itulah dia berkomitmen untuk menjadi seorang Muslim.

Setelah menyelesaikan tingkat lanjutannya itu, ia pindah ke Afrika Selatan. Ia menjadi mahasiswa hukum di Universitas Rhodes, mempertinggi keterampilan berpikir kritisnya sembari terpesona oleh Islam.

''Langkah pertama saya memeluk agama Islam dimulai ketika saya adalah seorang jaksa penuntut di Pengadilan Tinggi di Bulawayo pada 2008. Seorang teman memberi saya buku teks tentang Islam dan saya merasa ingin lebih banyak tahu,'' lanjutnya.

Semakin ia mencari tahu dan membaca, semakin ia terpikat dengan agama Islam. Tak lama, ia pergi ke satu toko milik Muslim. Kala itu Museta sudah belajar tentang sapaan dalam bahasa Arab, ia lantas mengucapkan ''Assalamu'alaikum'', yang kemudian dijawab oleh pemilik toko, dan bertanya apakah ia Muslim. Museta menjawab, ''Tidak''. 

Kedatangannya kali itu bertepatan dengan hari Jumat, saatnya Muslim laki-laki melaksanakn shalat Jum'at. Pemilik toko bertanya apakah Museta ingin bergabung, dan ia dengan senang hati menyetujui hal tersebut.

Saat berada di tengah-tengah Muslim yang sedang sholat, ia merasa benar-benar terhubung dengan Islam. Dua minggu kemudian, umat Muslim menjalani ibadah bulan Ramadhan. Museta pun ikut di dalamnya. Sejak saat itu, ia tidak pernah kembali ke agamanya semula.

Museta mengatakan, pada awalnya teman-teman dan keluarganya terkejut mengetahui ia telah memeluk Islam. Kebanyakan dari mereka tidak mengenal siapa pun yang memeluk agama itu. Dia menyadari, menjadi seorang Muslim sangat berbeda dari agama yang dianut sebelumnya.

''Ini kehidupan yang berbeda dibandingkan dengan kehidupan (agama sebelumnya). Ada banyak hal yang dilakukan dan semuanya berhubungan dengan Allah SWT. Bahkan ketika bangun tidur, berdoa lima kali sehari, bahkan ketika pergi ke toilet. Semua yang Anda lakukan terhubung dengan Allah SWT. Itu seperti keadaan ibadah yang konstan,'' kata Museta.

Kesalahpahaman terkait Islam adalah salah satu tantangan utama yang harus ia hadapi. Bahkan, aturan berpakaian sangat dipermasalahkan oleh orang yang tidak percaya Islam.

Tantangan khas yang dihadapi oleh umat Islam adalah gambaran teroris, yang memiliki sifat kekerasan. Banyak yang berpandangan Islam menyukai kekerasan dan mengajarkan ekstremisme hingga ingin memaksa semua orang bergabung dengan Islam, serta ingin Syariah diterapkan ke dunia.

Ia menyebut pemahaman seperti itu adalah kesalahpahaman besar. Islam adalah agama moderat. Semua yang dilakukan umat Muslim adalah moderat dan ekstremisme bukanlah sesuatu yang diterima dalam Islam. Ia menambahkan, tidak akan membesarkan anak-anaknya dengan cara Muslim jika mempromosikan intoleransi dan kekerasan.

''Tidak mungkin saya membesarkan anak-anak saya dalam agama yang mendukung kekerasan dan pembunuhan. Saya berpendidikan dan cukup pintar untuk mengetahui tentang sesuatu yang baik atau buruk,'' kata dia.

Sheikh Isaac Ali, pemimpin masjid di Barham Green, mengatakan dia mengamati terjadi peningkatan jumlah orang yang bergabung dengan agama Islam, khususnya di Bulawayo.

Dia mengatakan Muslim menghadapi segudang tantangan karena kebanyakan orang tidak memahaminya. Orang-orang berpikir mereka adalah penjual kekerasan.

Banyak orang, bahkan di Zimbabwe, mengaitkan agama Islam dengan organisasi teroris seperti Boko Haram dan ISIS.

''Bahkan ketika Anda mengenakan pakaian Muslim dan pergi ke bank, orang tidak akan memberi tahu secara langsung. Tetapi dari cara mereka melihat Anda, mereka merasa tidak nyaman berada di sekitar Anda,'' kata Sheikh Isaac Ali.

Ketika mereka melihat seorang Muslim, mereka segera membayangkan Boko Haram, geng teroris ISIS. Ini tantangan bagi seluruh Muslim di dunia. Teror yang menyebar dengan cepat dan disiarkan media, utamanya media sosial, dikonsumsi oleh masyarakat luas. Akhirnya, ketika mereka melihat seorang Muslim, yang ada di pikiran mereka adalah Muslim bagian dari ISIS.

Sheikh Ali lantas mengatakan Islam adalah hal sebaliknya. Islam tidak mempromosikan kekerasan dan propaganda, bahwa ketika seseorang meninggal karena bom bunuh diri, mereka akan mendapatkan 70 istri di akhirat.

''Ketika menyangkut bom bunuh diri, bagi Islam itu dianggap haram, dilarang. Islam sama sekali melarang orang untuk bunuh diri,'' lanjutnya.

Terkait membunuh seseorang secara tidak adil, di dalam Islam, jika Anda membunuh satu orang, maka ia seolah-olah telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, jika Muslim menyelamatkan satu jiwa, perbuatan itu seolah-olah telah menyelamatkan seluruh umat manusia.

Sheikh Ali mengatakan, dirinya sedang dalam proses mendirikan rumah anak-anak di Inyathi, distrik Bubi, Matabeleland North. Mereka mencoba untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. ***

Editor:hasan b
Sumber:republika.co.id
Kategori:Feature
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77