Home  /  Berita  /  Pemerintahan

Terkait Istilah 'Pitih Sanang', Hardianto: Ungkapan Itu Bukan Komentar Saya

Terkait Istilah Pitih Sanang, Hardianto: Ungkapan Itu Bukan Komentar Saya
Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto.
Sabtu, 01 Agustus 2020 15:28 WIB
PEKANBARU - Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto menegaskan, idiom (ungkapan) 'pitih sanang' pada berita di GoRiau.com bukanlah komentarnya, melainkan istilah yang digunakan redaksi GoRiau.com untuk mengibaratkan penghasilan daerah yang bersumber dari pajak atau non retribusi.

"Ungkapan itu bukan komentar saya, melainkan istilah yang digunakan redaksi GoRiau.com,'' klarifikasi Hardianto, Sabtu (1/8/2020).

Hardianto mengaku dirinya merasa tidak nyaman ketika mengetahui sejumlah pihak menganggap ungkapan tersebut merupakan komentar pribadinya.

''Riau dan Sumbar ini dari historical dan kerumpunan Melayu adalah saudara. Persoalan Pajak Air Permukaan (PAP) adalah peraturan perundang-undangan. Saya berharap kesalahpahaman ini segera terluruskan,'' kata politisi Gerindra ini.

Herdianto menegaskan, dia tak pernah berniat menyinggung perasaan masyarakat Sumbar.

Sebelumnya, berita di GoRiau.com yang berjudul ''Sukses Putuskan Aliran 'Pitih Sanang', Pimpinan DPRD Riau Apresiasi Komisi III'', mendapat tanggapan keras dari pemangku kepentingan di Sumatera Barat (Sumbar). Mereka menganggap ungkapan 'pitih sanang' tersebut merupakan pernyataan pribadi Hardianto. Padahal, merupakan istilah yang digunakan redaksi GoRiau.com untuk mengibaratkan Pajak Air Permukaan (PAP) yang bukan merupakan retribusi.

Gubernur Sumbar: Kami Juga Berhak

Sebelumnya Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyatakan bahwa Sumatera Barat banyak berkorban untuk waduk PLTA Koto Panjang sehingga berhak untuk mendapatkan bagian dari pajak air permukaan (PAP) dari PLTA tersebut.

Ia mengatakan idiom atau ungkapan ''pitih sanang' terkait Pajak Air Permukaan (PAP) Waduk Koto Panjang yang diterima Sumatera Barat kurang tepat dan kurang bijak karena sangat melukai hati rakyat Sumbar.

''Sumbar banyak berkorban untuk waduk itu. Apalagi setiap tahun kami anggarkan hingga Rp2 miliar untuk menjaga daerah tangkapan air untuk waduk. Jadi 'pitih sanang dari mana?'' katanya di Padang, Jumat (31/7/2020).

Ia mendukung pernyataan DPRD Sumbar yang menyayangkan adanya istilah yang tidak pada tempatnya digunakan oleh anggota DPRD Riau.

Irwan mengatakan pihaknya telah merespons dan memproses secara administratif pengalihan semua PAP Waduk Koto Panjang ke Riau. ''Kami lakukan secara tertulis maupun upaya lainnya ke Kementerian Dalam Negeri,'' katanya.

Surat ke Kemendagri, ujar dia, sudah diproses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga Sumbar. Ia meminta masyarakat Sumbar, baik di ranah dan di rantau untuk sementara tenang dan mempercayakan persoalan itu pada Pemprov Sumbar. ''Berikan kesempatan kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat,'' katanya.

Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozawardi menyatakan di Koto Panjang, Limapuluh Kota, terdapat daerah tangkapan air (DTA) seluas 150.000 ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai terus ke sungai dan bermuara ke Waduk Koto Panjang. Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat.

Untuk memastikan hutan tetap terjaga di DTA, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) lebih kurang Rp2 miliar setiap tahun di APBD Sumbar.

Di lain pihak Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumbar Maswar Dedi menyatakan selama ini Pemprov Sumbar terus menjaga daerah tangkapan air itu, padahal daerah hutan lindung itu dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budidaya HP (hutan produksi) atau area penggunaan lain (APL) untuk kepentingan daerah.

''Sebenarnya banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di daerah tangkapan air Waduk Koto Panjang itu. Hal itu bisa dimungkinkan dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. Namun karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan mempertimbangkan warga Riau, hal itu tidak dilakukan,'' katanya.

Sebelumnya Ketua Komisi III DPRD Sumbar Afrizal menyatakan persoalan jatah pembagian hasil Pajak Air Permukaan itu menyangkut harga diri rakyat Sumbar yang dilecehkan.

''Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1,5 miliar, namun Pemprov Sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari Rp2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan Pemprov Riau lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini. Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Ke depan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ke tempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu,'' ujarnya.

Pemicu kisruh polemik antara DPRD Riau dengan masyarakat Sumbar berawal dari lahirnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Nomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatera Bagian Utara pada poin Nomor 3:

a. DAS, Hulu dan HILIR dapat dipandang sebagai satu kesatuan sumber daya air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan.

b. Pemerintah Daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah dimana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Apresiasi Komisi III

Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua DPRD Riau, Hardianto, mengapresiasi langkah Komisi III DPRD Riau membidangi pendapatan yang berhasil menorehkan prestasi berupa penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Apresiasi itu disampaikan langsung oleh Hardianto dihadapan sejumlah anggota DPRD Riau dan juga Gubernur Riau, Syamsuar di dalam sidang rapat paripurna, Senin (27/7/2020).

PAD yang dimaksud Hardianto adalah Pajak Air Permukaan (PAP) dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang, Kampar yang selama ini pajaknya dibagi dua dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat.

"Saya selaku pimpinan DPRD Riau mengapresiasi kinerja komisi III yang berhasil merebut 100 persen Pajak PLTA Koto Panjang berdasarkan dengan UU Nomor 28 Tahun 2009," kata Hardianto.

"PLTA ini 100 persen berada di kawasan Riau, tapi setoran pajaknya dibagi dua dengan Sumbar, sekali lagi saya apresiasi rekan-rekan," katanya lagi.

Adapun besaran pajak yang selama ini disetor oleh PLN sekitar Rp 3,4 Miliar. Karena harus berbagi dengan Sumatera Barat (Sumbar), Riau hanya mendapatkan jatah sekitar Rp1,7 Miliar saja.

Kisruh PAP ini bermula dari adanya kesadaran Komisi III terhadap ketidakadilan selama bertahun-tahun, dimana hak Riau terus dibagi dua dengan Pemprov Sumatera Barat.

Riau hanya mendapatkan Rp1,5 miliar dari PAP waduk itu dan Pemprov Sumbar juga mendapatkan pitih sanang(uang senang) dari PLTA Koto Panjang dengan jumlah yang sama.

Padahal berdasarkan regulasi yang tercantum dalam UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Kemudian Perda Riau No 8 Tahun 2011 tentang Pajak. Dimana dalam aturan ini tidak menyebutkan objek pajak dibagi dua dan posisi waduk sudah jelas berada di Provinsi Riau.

"Jadi tidak ada alasan pihak PLN untuk membagi pajak air permukaan PLTA dengan Provinsi Sumatera Barat," ujar Husaimi Hamidi.

Setelah menjadi bahasan yang cukup serius, akhirnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyetujui agar pembayaran PAP PLTA Koto Panjang sepenuhnya menjadi hak Riau.

Husaimi meminta agar PLN segera merespon SK yang telah dikeluarkan Kemendari tersebut dengan membayar porsi penuh pajak ke kas daerah.

Meski awalnya menolak, namun akhirnya PLN mengakui kesalahannya dan akan menghentikan pembayaran ke Pemprov Sumbar selama ini.

Menanggapi apresiasi itu, Ketua Komisi III Husaimi Hamidi, mengatakan, apa yang diraih hari ini merupakan hasil kerjasama antara Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau dengan anggota Komisi III DPRD Riau.

"Ketika diamanahkan sebagai Ketua Komisi III, saya memang berniat untuk membuat terobosan bagaimana PAD terus meningkat. Karena percuma perencanaan bagus kalau uangnya tak ada, ini yang harus kita gali terus," ujar Husaimi kepada GoRiau.com.

Dirinya, lanjut Husaimi, berharap agar Pemprov Riau bisa mengimbangi semangat komisi III dalam menggenjot PAD Riau, karena saat ini Komisi III memiliki target kerja dan sudah menemukan banyak potensi yang bisa digali.

Dicontohkan Husaimi, ada potensi PAD di sektor pungutan parkir di beberapa aset Pemprov Riau. Sebut saja Gedung Olahraga Gelanggang Remaja, Lapangan Purna MTQ, dan Stadion Utama Riau di Tampan.

"Kalau kita bisa optimalkan itu, pendapatannya jauh lebih besar dari pendapatan di sektor restribusi sewa saat ini. Kita harus terus menggali potensi yang ada, syaratnya cuma satu yaitu punya rasa memiliki Riau. Kalau kita merasa memiliki Riau, pasti kita akan bekerja dengan baik," tambahnya. ***

Catatan redaksi:

Penggunaan idiom (ungkapan) 'pitih sanang' pada judul berita ''Sukses Putus Aliran 'Pitih Sanang' ke Sumbar, Pimpinan DPRD Riau Apresiasi Komisi III'' bukanlah berasal dari ucapan langsung Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto sebagaimana tertulis dalam berita, tetapi adalah idiom yang digunakan media GoRiau.com untuk menggambarkan pendapatan dari pajak, yang bukan retribusi.

Editor:Hermanto Ansam
Kategori:Pemerintahan
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/