Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Iwan Bule: Putusan MK Tepat, Tak Ada Cawe-Cawe Presiden di Pemilu 2024 Lalu
Politik
23 jam yang lalu
Iwan Bule: Putusan MK Tepat, Tak Ada Cawe-Cawe Presiden di Pemilu 2024 Lalu
2
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
12 jam yang lalu
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
3
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
Olahraga
11 jam yang lalu
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Pegiat HAM Soroti Pengamanan Berlebihan di Pelantikan Jokowi

Pegiat HAM Soroti Pengamanan Berlebihan di Pelantikan Jokowi
Minggu, 20 Oktober 2019 14:22 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyinggung perbedaan atmosfer pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 dengan lima tahun silam. Ia menganggap pelantikan Jokowi periode kedua ini sarat pengerahan kekuatan aparat keamanan yang berlebihan.

"Potret pelantikan 2014, kita lihat seorang Jokowi diarak dengan kereta kencana oleh ribuan orang--memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang pro rakyat," kata Usman di tengah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10).

"Hari ini, dia dikelilingi oleh pengamanan yang berlebihan. Suatu pengamanan yang menurut saya hanya cocok untuk pemimpin yang bukan negarawan, tapi mereka yang dilantik untuk memegang kekuasaan besar dengan nyali dan mental yang kecil," sambung Usman.

Pegiat HAM tersebut menyoroti perbandingan itu saat membahas mengenai perlunya memperkokoh koalisi masyarakat sipil untuk menghadapi konsolidasi kelompok elite. Salah satunya ditunjukkan dengan tak kunjung diungkapnya kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Bertolok pada penanganan aksi belakangan ini, Usman juga melihat kecenderungan pemerintahan mendatang bakal lebih represif terhadap kebebasan berpendapat.

Serupa diungkapkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani. Indikasi itu, kata dia, bisa dilihat dari pergantian periode kepresidenan yang diwarnai tindakan represif dan kekerasan yang diduga dilakukan aparat.

Catatan KontraS menunjukkan rangkaian unjuk rasa di berbagai daerah pada pengujung September 2019 mengakibatkan setidaknya lima korban meninggal, terdapat pula korban luka-luka dan penangkapan serta penahanan sewenang-wenang.

"Semakin mundur [demokrasi] karena pengungkapan peristiwa itu semakin tidak jelas. Ini terjadi seiring pelantikan. Ditambah lagi pelarangan, pembatasan yang sangat-sangat tidak perlu," kata Yati dalam forum diskusi yang sama.

"Kalau negara ini mengaku sudah demokratis, seharusnya pelarangan aksi atau berekspresi politik seharusnya difasilitasi negara, bukan justru dibatasi," tutur dia lagi.

Beberapa hari jelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia pada 20 Oktober 2019, polisi memberlakukan pelarangan aksi dengan dalih menjaga keamanan. Kapolda Metro Jaya Gatot Eddy Pramono mengatakan takkan mengeluarkan surat izin demo atau Surat Terima Tanda Pemberitahuan (STTP) berlangsungnya unjuk rasa.

Sementara Presiden Jokowi sempat mengklarifikasi bahwa dirinya tak melarang masyarakat untuk menyampaikan aspirasi lewat unjuk rasa. Terkait unjuk rasa jelang prosesi pelantikan tersebut, Kabid Humas Polda metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengklaim polisi memiliki diskresi kendati presiden tak melarang aksi.***

Editor:Muslikhin Effendy
Sumber:CNNIndonesia.com
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Pemerintahan, Politik
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/