Home  /  Berita  /  GoNews Group

Soal Novel dan Suara Pembekuan Anggaran KPK pasca Upaya Dorongan Politik Internasional

Soal Novel dan Suara Pembekuan Anggaran KPK pasca Upaya Dorongan Politik Internasional
Senin, 29 Juli 2019 20:39 WIB
Penulis: Muhammad Dzulfiqar
JAKARTA - Kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan kembali menarik perhatian publik setelah anggota fraksi PDI-P DPR RI, Masinton Pasaribu bersuara soal pembekuan anggaran KPK.

Komentar tegas anggota Komisi III DPR RI itu, menyusul adanya upaya sebagian pihak untuk membantu Novel mendapatkan keadilan melalui dukungan politik internasional.

"Karena tidak boleh, secara etik ketatanegaraan ada lembaga negara membawa persoalannya mendorong dan merestui persoalan internalnya ke forum internasional. Nah itu, maka kita minta supaya pimpinan KPK-supaya dia (memepertegas posisi sebagai, red) lembaga negara atau LSM. Kok lembaga negara merestui pihak lain ya? LSM. Karena saya dengar KPK ikut mendorong dan merestui tindakan LSM tersebut untuk membawa persoalan Novel ini ke forum internasional," kata Masinton di Resto D'Consulale, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2019) lalu.

"Saya berpandangan kalau KPK sebagai lembaga negara yang dibiayai negara bertindak sebagai LSM, ya, saya minta supaya anggaran KPK dibekukan dulu. Biar clear dulu ini persoalan KPK ini ya," tegas Masinton.

Posisi KPK

Sebelumnya, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febridiansyah enggan berkomentar soal upaya mencari dukungan politik internasional dalam mengungkap kasus yang dinilai sebagian pihak, "bisa merenggut nyawa Novel,". Di Kuningan, Badan Kepegawaian KPK lah yang biasanya angkat bicara soal kasus Novel.

Tapi hari ini, Senin (29/07/2019), Febri pun angkat suara, menyusul lontaran ide dari Masinton Pasaribu agar anggaran komisi anti rasuah dibekukan sementara.

"Kalau anggaran KPK dibekukan, kan berarti KPK tidak bisa bekerja. Kalau KPK tidak bisa bekerja, siapa yang senang? Yang akan diuntungkan jika KPK tidak bekerja adalah para pelaku korupsi," kata Febridiansyah di gedung ACLC, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (29/7/2019).

Febri tak menegaskan pihaknya turut terlibat dalam pemncarian dukungan politik internasional dalam mengungkap kasus Novel, tapi Ia menjelaskan, perlunya melihat serangan terhadap orang-orang yang melakukan pemberantasan korupsi atau memperjuangkan hak asasi manusia itu sebagai serangan terhadap para pembela hak asasi manusia.

"Kalau kita sudah bicara tentang hak asasi manusia, maka dimensinya itu sudah bisa menjadi dimensi internasional dan siapapun punya hak agar HAM-nya ditegakkan. Oleh karena itu, ketika ada orang-orang yang memperjuangkan haknya dan ada inisiatif dari organisasi tertentu tentu kita tidak bisa melarang itu, tidak boleh membatasi orang-orang memperjuangkan agar hak asasi manusianya dipenuhi," jelas Febri.

Siapa Pembela Novel hingga Meniti Jalan Politik Internasional?

Koalisi masyarakat sipil, menggelar jumpa pers di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, pada Selasa (17/7/2019) lalu. Mereka, menyoal tak disebutkannya satu pun nama terduga pelaku teror terhadap Novel Baswedan oleh Tim Pakar bentukan Polri.Amnesti Internasional Indonesia yang turut hadir dalam jumpa pers itu mengungkapkan, pentingnya dibentuk TGPF langsung di bawah Presiden RI. Terlebih, kasus Novel telah menjadi perhatian dunia internasional.'Untuk isu hak asasi manusia (HAM) tentu saja kasus ini sudah masuk di Dewan HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)," kata Puri, anggota Amnesti Internasional, di gedung KPK kala itu.

'Sudah mendapat high light (terkait, red) monitoring sistem peradilan di Indonesia," katanya menambahkan.

Teror terhadap Novel, kata Puri, menjadi penting sebagai pendorong agar kasus Novel Baswedan dijadikan "sebagai kasus mahkota-kasus kuncian yang harus bisa dijawab oleh presiden dan parlemen terpilih periode 2019-2024,".

Puri juga mengungkapkan, sudah ada anggota Kongres Amerika Serikat yang memulai membuat semacam petisi untuk disetujui dan dikirimkan ke Istana Kepresidenan RI sebagai bentuk rekomendasi untuk Jokowi dalam menindaklanjuti kasus Novel.

"Satu atau dua minggu ini (atau sekira awal Agustus 2019, red) surat itu akan dikirimkan dari Washington DC ke Jakarta," kata Puri.

Diharapkan, komunikasi resmi tingkat parlemen akan berlangsung pasca inagurasi presiden dan wakil presiden beserta para anggota dewan pada Oktober mendatang.

Puri menjelaskan, dorongan politik internasional seperti ini pernah terjadi dengan dibentuknya TPF Munir setelah ada dorongan Kongres AS saat presiden Indonesia dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Belakangan, Francisco Bencosme, Manajer Advokasi Asia-Pasifik Amnesty International USA, membacakan testimoni tertulisnya pada forum 'Human Rights in Southeast Asia: A Regional Outlook' di Subcommittee on Asia, the Pacific, and Nonproliferation House Foreign Affairs Committee.

Francisco menyebut, Novel telah membawa kasusnya ke Komnas HAM karena merasa penyelidikan kasusnya tidak berhasil. Komnas HAM disebut Francisco menyimpulkan adanya dugaan serangan kepada Novel sebagai upaya menghambat KPK dalam memberantas korupsi.

Ada kata "Adu" saat Eks. Pimpinan KPK ikut Bicara

Mantan Pimpinan KPK Jilid II, Antasari Azhar, menilai tak perlu membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) di bawah Presiden untuk mengungkap kasus Novel apalagi melibatkan pihak asing dalam pengungkapan kasus Novel.

"Masalah Indonesia selesaikanlah di rumah kita sendiri," kata Antasari di gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (18/7/2019) lalu.

Antasari juga berpendapat, bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diusulkan dibentuk langsung di bawah presiden, bukan wacana yang tepat.

"Jangan Presiden selalu dilibatkan dalam masalah hukum," tukas Antasari.

Menurutnya, jika hal itu dilakukan; mendorong Presiden untuk ambil sikap dalam kasus Novel, baik melalui TGPF, dengan atau tanpa dorongan politik internasional, hal itu dapat berimbas buruk pada presiden dan penegakkan hukum itu sendiri.

"Misalnya, saya sekarang ikuti pendapat Anda sekarang. Oke kita dorong Presiden. Lalu suatu saat, Anda juga yang (bisa, red) bilang 'Presiden' intervensi. Itu yang kita jaga," kata Antasari.

Terkait sejarah TPF kasus Munir yang dikabarkan juga terbentuk pasca adanya rekomendasi dari Kongres Amerika Serikat di masa pemerintahan SBY, Antasari berujar, "itu kan kata orang-orang, jangan terlalu percaya! Kita diadu-adu aja,".***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/