https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Ekonomi 5 Tahun Jokowi-JK Belum Maksimal, Perlukah Menteri Baru?

Ekonomi 5 Tahun Jokowi-JK Belum Maksimal, Perlukah Menteri Baru?
Dialektika Demokrasi bertajuk "Evaluasi Kinerja Ekonomi Nasional, Perlukah Menteri Baru?" di Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Kamis, 04 Juli 2019 18:06 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Perkembangan ekonomi masa kepemimpinan Jokowi-JK lima tahun terakhir, menurut Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto target perekonomian secara umum relatif belum tercapai.

Hal ini kata dia, jika diukur dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Demikian diungkapkan Eko dalam Dialektika Demokrasi bertajuk "Evaluasi Kinerja Ekonomi Nasional, Perlukah Menteri Baru?" di Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

"Secara umum paling gampang lihat perekonomian itu di pertumbuhan. Karena pertumbuhan itu merepresentasikan ada di masyarakat," kata Eko Listiyanto

Eko juga menjelaskan, aspek lainnya yang harus dilihat adalah terkait tantangan kedepan, dimana sebelumnya ada target yang sangat optimis bisa tercapai, namun pada kenyataanya belum sesuai yang diharapkan.

Maka sambungnya, pada periode kedua pemerintahan Jokowi harus ada upaya lebih keras untuk meningkatkan performa pemerintah di lima tahun kedepan. "Secara umum, dibidang ekonomi melihat kinerja perekonomian dari sisi pertumbuhan. Karena pertumbuhan tersebut merepresentasikan segala aktifitas yang ada dimasyarakat. Ultimate goal-nya adalah bagaimana ekonomi dapat tumbuh dengan baik dan merata," tandasnya.

Diawal pemerintahan Presiden Jokowi kata Eko, pertumbuhan ekonominya di bawah 5 persen yakni 4,8 persen. Kemudian dilakukan berbagai macam upaya kebijakan dan terobosan, yang akhirnya pertumbuhan ekonomi mampu meningkat diatas 5 persen.

"Ketika diawal pemerintahan masih ada pilihan terhadap orang-orang yang duduk dikabinet itu yang masih belum tepat, perkembangan ekonominya masih turun, dan ketika dilakukan penggantian kemudian pertumbuhan ekonominya menjadi naik. Artinya, ada kinerja disana,” katanya.

Hanya saja, semenjak awal RPJMN 2014-2019 itu dipasang dengan harga yang cukup ambisius, dimana pertumbuhan ekonomi ditargetkan rata-rata 7 persen, namun hasilnya sekarang ini hanya mencapai dikisaran 5 persen. "Harapan saya, kedepan tim ekonomi itu harus dikocok ulang, karena memang dibutuhkan orang yang benar-benar bisa mengimplementasikan harapan didalam rencana tersebut," tandasnya.

Sementara itu,  Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait mengakui, pertumbuhan ekonomi era Jokowi-JK belum sesuai yang diinginkan. "Memang angka kemiskinan, pengangguran, dan gini ratio memang berkurang, namun angkanya harus lebih signifikan lagi,” kata Maruarar.

Hal ini juga kata Maruarar terkait dengan penerimaan pajak. Untuk itu kata Dia, harus ada keberanian menciptakan satu langkah yang luar biasa. "Penerimaan negara 65 persen berasal dari pajak, kalau pajak itu tidak tercapai pasti efeknya tinggi kepada APBN. Kalau penerimaannya tidak tercapai, pasti pengeluarannya juga menjadi tidak maksimal dan hutang negara juga akan bertambah,” tambahnya lagi.

“Menurut saya sudah saatnya dilakukan kombinasi. Jangan kebijakan-kebijakan Presiden yang sudah pro rakyat malah tidak didukung oleh Menterinya. Sebab Menteri adalah pembantu Presiden, dan yang juga memiliki visi misi adalah Presiden bukan menteri,” tandas politisi PDIP itu.

Pemikiran berbeda disampaikan Anggota DPR RI Mukhamad Misbakhun. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi bukanlah ukuran dari keberhasilan dan kegalan Pemerintah. Karena masih bisa diukur dari aspek lain. "Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi kesenjangan tetap terjadi, maka arti pertumbuhan ekonominya menjadi tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dapat mensejahterakan masyarakat,” kata Misbakhun.

Misbakhun menyampaikan, saat ini tax ratio Indonesia rendah yang diakibatkan oleh adanya permasalahan yang bersifat struktural di APBN. Penerimaannya kurang optimal tetapi biaya bunga kita naik. "Hal ini yang harus menjadi perhatian tim ekonomi kita kedepan. Yang kita cari sebenarnya bukanlah orang-orang dipuji oleh luar negeri, reputasinya internasional dengan berbagai macam penghargaan, tetapi menteri yang loyal seratus persen kepada Presidennya,” pungkasnya.***


wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/