Home  /  Berita  /  Politik

Pemilu 2024 Mendatang Antara Pilpres dan Pileg Wajib Dipisah

Pemilu 2024 Mendatang Antara Pilpres dan Pileg Wajib Dipisah
Rabu, 26 Juni 2019 22:40 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA – Anggota DPD RI Jhon Pieris mendukung penyelenggaraan pileg dan pilpres dipisah pada pemilu 2024. Menurutnya, pemilu serentak cukup di 2019, karena menyisakan banyak masalah dan korban jiwa.

Jhon Pieris menjadi anggota DPD selama dua periode (2009 – 2019) dari daerah pemilihan Maluku, namun gagal melenggang ke Senayan di pemilu 2019 ini.

Bahkan dia mengaku pernah ditawari seseorang untuk menang pemilu dengan membayar ratusan juta rupiah. “Saya tolak tawaran itu, karena money politik itu merusak demokrasi dan menghancurkan pendidikan politik rakyat. Untuk itu, saya mendukung dipisahkannya pileg dan pilpres,” tegas Jhon Pieris.

Hal itu disampaikan dalam dialog kenegaraan DPD RI “Evaluasi Pemilu Serentak, Bisakah Pileg dan Pilpres Dipisah Lagi?” bersama anggota Fraksi Golkar DPR RI, Hj. Hetifah Sjaifudian, dan peneliti utama LIPI, Siti Zuhro di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Ditambah lagi sosialiasi pemilu serentak oleh KPU tidak optimal. Sehingga banyak rakyat tidak tahu saat datang ke TPS itu memilih caleg DPD RI juga DPR RI. “Jadi, banyak hal yang harus menjadi perhatian dalam pemilu serentak 2019 ini,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI asal Partai Golkar, Hetifah mengakui, pemilu serentak 2019 ini banyak masalah yang harus dievaluasi. Seperti banyaknya petugas yang meninggal, maraknya money politics, berita hoaks, kampanye hitam, politik identitas dan meningkatnya dinasti politik.

“Semula pemilu serentak ini untuk memperkuat sistem presidensial, tapi jika harus dievaluasi tentu harus meminimalisir money politics, kampanye hitam, hoaks, politik identitas, dan dinasti politik tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu.

Yang pasti kata Hetifah, ada dua jenis evaluasi pemilu, yaitu evaluasi secara subtansial dan prosedural.

“Golkar akan evaluasi dengan penegakan sanksi bagi pelaku money politics, meningkatnya partisipasi rakyat untuk pileg, dan bukan hanya fokus pada pilpres,” pungkasnya.

Hal yang sama juga dikatakan Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.

Ia menilai, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 nyaris tidak ada sisi positifnya. Justru yang mengemuka lebih banyak masalah atau kendalanya.

“Jadi banyak sekali catatan yang tidak positif setelah kita menjalani 21 tahun sistem demokrasi kita. Mulai isu uang dalam pemilu, baik yang poot buying maupun transaksional dan juga logistik,” jelas Siti Zuhro.

Khususnya terkait pemilu, kata dia, Pemilu Serentak 2019 ini tidak hanya mengurangi kualitas berdemokrasi, tapi juga menimbulkan nestapa.

"Karena ada yang meninggal kalau betul jumlahnya sekitar 700 an itu itu harus dipertanggungjawabkan, luar biasa. Jadi ini memberikan satu pembelajaran yang sangat berharga untuk kita tidak terulang kembali,” tandasnya.

Berbagai permasalahan itu kata dia, sudah sering didiskusikan di medsos, bahkan bumbunya luar biasa. "Hoaxnya dan sebagainya pemberitaan tentang sisi-sisi negatif, kekurangan kendala dan sebagainya sangat sering," paparnya.

Solusinya kata Zuhro, adalah menata ulang desain pemilu yang jauh lebih membumi. Jangan dipercayakan lagi pada desainer-desainer yang lalu. Kemarin tu mengedepankan pemilu borongan, lima kotak.

"Betul-betul tidak nginjak bumi di negara Indonesia. Negara unik archipelago dari Sabang sampai Merauke punya karakter kekhasannya sendiri, dipaksakan dengan pola seragam. Agak dzolim juga desainernya," tegasnya .

Jadi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh daerah, mestinya mulai dipertimbangkan secara serius. “Kita berdemokrasinya nggak usahlah terlalu yang ruwet, complicated dan sebagainya, jadi di 2024, pemilu harus dipisah antara Pileg dan Pilpres," pungkasnya.***

wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77