Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
Internasional
3 jam yang lalu
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
2
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
2 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
3
Okto Sebut Sudah 9 Atlet Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
2 jam yang lalu
Okto Sebut Sudah 9 Atlet Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
1 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
https://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Kenapa Masyarakat Tak Lagi Percaya Lembaga Survei? Ini Kata Fahri Hamzah

Kenapa Masyarakat Tak Lagi Percaya Lembaga Survei? Ini Kata Fahri Hamzah
Senin, 22 April 2019 15:07 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Salah satu yang menyebabkan orang tidak percaya objektivitas terhadap lembaga survey adalah afiliasi atau memposisikan diri sebagai broker.

Padahal seharusya, lembaga survey sebagai pollster atau orang yang mengumpulkan pendapat umum, harus bersifat netral, begitu juga halnya dengan media.

Pendapat ini disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/4/2019) menanggapi netralitas sejumlah lembaga survey dalam Pemilu serentak 2019, khususnya dalam pilpres.

"Media dan lembaga survey harusnya bersifat netral, jangan partisan. Beda dengan politisi yang memang nggak mungkin netral. Ini yang kita perlu perbaiki ke depan," kata Fahri.

Oleh karena itu, menurut inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu, kecurigaan pada quick count/QC pollster pasti ada sebabnya, dan yang paling sederhana menjelaskannya adalah politik. Survey dianggap menjadi bagian dari industri politik oleh masyarakat, di satu sisi harusnya dibiarkan saja demikian tapi sisi lain, bahwa para pollster sering ragu.

"Sejauh yang saya mengerti, orang tidak menentang metode sains dalam survey. Tapi yang saya saksikan ditentang orang adalah politik-nya. Karena itu, pada awalnya orang juga tidak menentang hasilnya, tapi orang curiga mengapa ilmu sosial ini menjadi ilmu pasti? Menjalarlah keraguan," cetusnya.

Fahri menambahkan bahwa industri survey sama dengan industri media massa bukanlah bisnis murahan, karena semua perlu modal dan keahlian. Tapi kedua industri ini harus menghindari monopoli dan oligopoli agar tidak merusak demokrasi.

"Jurnalisme kita sekarang bekerja untuk konglomerasi yang berafiliasi solid dengan politik. Pada musim kampanye mereka bekerja untuk politik, dan hanya sedikit yang sanggup netral. Terutama TV yngg ditonton mayoritas rakyat, semua menjadi jurkam. Sebab itulah tragedi industri media sekarang, untung ada socmed (socil media), dan ada YouTube," katanya.

Lanjut Fahri, jika ruang publik frekuensinya dipegang secara partisan, bukan tidak mungkin hak rakyat untuk mendapatkan berita yang berimbang semkin kecil. Begitu pula nasib opini apabila ilmuan, kaum cendikiawan yang kita baca sebagai kelompok masyarakat minoritas yang tercerahkan, menjadi hilang karena seluruh saluran dikuasai oleh persekongkolan politik, uang dan media.

"Lalu semua hanya berani menjadi perkakas kepentingan politik. Idealisme terbang entah ke mana. Marilah kita pikirkan kembali sikap ngotot kita dengan bisnis media dan survey ini. Saya mengajak membaca ekosistem yang memungkinkan sikap ilmiah dan independen ada dalam semua metode ilmiah kita. Sebab, survey teman-teman itu bias anti kelompok, juga anti orang tertentu. Parah," tutup Fahri Hamzah.***

wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77