Home  /  Berita  /  GoNews Group

Melihat Kembali Kasus Buni Yani yang Buat Polisi dan Hakim Dilaporkan

Melihat Kembali Kasus Buni Yani yang Buat Polisi dan Hakim Dilaporkan
Konfrensi pers Buni Yani. (Zul/GoNews.co)
Kamis, 31 Januari 2019 12:47 WIB
Penulis: Muhammad Dzulfiqar
JAKARTA - Anggota tim kuasa hukum Buni Yani, Hairullah M. Nur, mengulas perjalanan kasus kliennya, sejak awal hingga penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Tak sedikit kejanggalan, berbuah pelaporan yang justru terhadap penegak hukum.

Kejanggalan pertama, kata Hairullah, Buni Yani, awalnya dilaporkan oleh Muannas, Guntur Romli cs. dengan pasal 27 UU ITE. Namun, di dalam proses penyelidikan, penyidikan, pihak kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya, Dir Krimsus, fokus pada pasal 28 ayat 2 soal ujaran kebencian.

"Semua ahli, ditanyakan mengenai pasal 28. Saudara ahli, saudara diperiksa mengenai pasal 28, semua ahli, ahli bahasa, pidana, dll. Termasuk semua saksi, fokus. Karena apa, di HP Pak Buni Yani itu, video itu ada. Ada yang 30 detik itu," kata Hairullah kepada GoNews.co di kantor Bang Japar, Rabu (30/01/2019) malam.

Hairullah menuturkan, saat dimintai keterangan soal sumber asal video 30 detik itu dan Buni Yani menjawab, fakta yang didapat memang video di sumber Buni Yani itu berdurasi sama, yakni 30 detik.

"Itulah kepolisian tidak memakai pasal 32. Dia udah tahu. Akhirnya apa? Dia tutup pasal 32, dia fokus ujaran kebencian," ujarnya.

Nah, Hairullah melanjutkan, sebagaimana UU ITE mewajibkan digital forensik, dilakukanlah tindakan itu, tapi kepada foto tangkapan layar (screen shoot) berisi tulisan 3 kalimat yang kemudian ramai.

"Yang pertama, penodaan terhadap agama. Kemudian kedua, Bapak-bapak Ibu-Ibu (titik-titik). Di sini yang menjadi rame karena katanya Buni Yani itu transkrip-hilang kata pakai. Dibohongin (kata pakainya tidak ada) Almaidah. Kalimat berikutnya, kelihatannya akan terjadi sesuatu dengan video ini. Tanda tanya juga. Akhirnya fokuslah disitu itu lah yang dilakukan digital forensik," kisahnya.

Selanjutnya, masih penuturan Hairullah, berkas pun dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Berulang kali bolak-bolak, tetap sulit untuk memenuhi P21.

"Karena ini bukan ansih hukum murni, ada kekuasaan di situ. Ada kekuasaan bermain di sini. Karena ini menyangkut Ahok, Ahok dekat dengan kekuasaan, dipaksaan ini," kata Hairullah.

Karena kendala itu, Hairullah mengatakan, berkas Buni Yani pun diserahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.

"Baru ini terjadi, di jakarta-ini kasus di jakarta kan? Yang melakukan penyidikan polda metro jaya kan? Kejati sini mestinya kan! Diterima lah P21, singkat cerita," katanya.

Saat sidang digelar, pasal yang menyasar Buni Yani menjadi pasal 32 ayat 1. Menurut Hairullah, "Jaksa sudah membaca bahwa ini akan terbukti Ahok memang benar melakukan penodaan agama. Jadi sulit untuk mengatakan bahwa Buni Yani ini melakukan ujaran kebencian,".

Oleh karena itu, kata Hairullah, Buni Yani tidak ditahan. Hairullah meyakini, pihak penyidik tahu bahwa sulit membuktikan Buni Yani bersalah. "Sampai, Kejaksaan juga begitu-tidak menahan, mereka ini hanya menjalankan perintah (dari luar-red). Pengadilan, pengadilan tingkat pertama juga tidak menahan,".

Sebab runutan proses itu, Hairullah dan timnya pun meyakini bahwa "ada yang salah" dengan para penegak hukum. Sehingga, pihaknya melaporkan kepada pihak berwenang oknum kepolisian, kejaksaan hingga hakim yang memproses Buni Yani. Meskipun, tak satupun dari laporan tersebut berbuah putusan positif.

"Ada yang janggal di kepolisian waktu itu, tentu kita ke Kompolnas sekitar akhir 2016. Tingkat berikutnya, Kejaksaan, tentu kita ke pengawas Kejaksaan, Jamwas, komisi kejaksaan. Kemudian persidangan, kita juga minta kepada Komisi Yudisial sekitar 2017. Termasuk kepada lembaga, dalam hal ini lebaga DPR," terang Hairullah.

Dalam proses yang panjang itu, Buni Yani telah tiga kali mendapat putusan. Putusan pertama dikeluarkan Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 14 November 2017. Dalam putusan nomor 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg itu disebutkan, Buni Yani telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik. Sehingga, PN menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Buni Yani oleh karena itu dengan pidana penjara 1 tahun dan 6 bulan.

Putusan berikutnya, diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan nomor putusan 370/PID.SUS/2017/PT.BDG yang pada intinya, menerima permintaan banding dari penasehat hukum Buni Yani dan JPU serta menguatkan putusan pengadilan negeri Bandung sebelumnya.

Teranyar, putusan nomor/1712/K/pidsus/2018 dari Mahkamah Agung. Salinan Putusan yang diterima tim kuasa hukum pada 30 januari 2019 ini kemudian dianggap non excutable karena tidak tertulis hukuman penjara pada Buni Yani sehingga tidak memberi kepastian hukum.

"Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi penuntut umum pada kejaksaan negeri depok dan pemohon kasasi terdakwa Buni Yani tersebut," bunyi alinea 1. Dan, "membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500.00 (dua ribu lima ratus rupiah)," bunyi alinea 2 putusan tersebut.

Atas situasi tersebut, tim kuasa hukum berencana untuk meminta penangguhan penahanan kepada Kejari Depok, memohon fatwa MA hingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

"Besok (Kamis, 31/01/2019) mulai berkirim surat untuk minta fatwa. Selanjutnya, selambatnya Jumat, kita ajukan penangguhan penahanan ke Kejari," kata Hairullah. ***

Editor:Muslikhin Effendy
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Hukum, Politik
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77