Home  /  Berita  /  Umum

Ini Kisah tentang Khatib Sulaiman, Sang Patriot yang Gugur dalam Peristiwa Situjuah Sumatera Barat

Ini Kisah tentang Khatib Sulaiman, Sang Patriot yang Gugur dalam Peristiwa Situjuah Sumatera Barat
Khatib Sulaiman
Sabtu, 24 Februari 2018 10:52 WIB

Suara meriam deru menderu
Bergetar mustang di udara lapang
Runding bersela dengan senapang
Saudara Khatib tidak ada lagi
Tapi arwahmu bersama kami
(Hamka, 1949)

Dalam murung, ulama legendaris Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Buya Hamka menulis ingatannya dalam bentuk syair, terhadap sosok yang demikian dikaguminya di Front Nasional, Khatib Sulaiman. Hamka mengenang pribadi yang gugur dalam Peristiwa Situjuah pada 15 Januari 1949.

Peristiwa Situjuah adalah suatu peristiwa penyerangan oleh pasukan penjajah Belanda terhadap para pejuang kemerdekaan Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang menewaskan beberapa orang pimpinan pejuang dan puluhan orang anggota pasukan lainnya, termasuk Khatib Sulaiman. Peristiwa itu terjadi di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Khatib Sulaiman adalah nama yang akrab di telinga generasi muda di ranah Minang sebagai jalan protokol di Kecamatan Padang Utara. Dia adalah sosok yang telah banyak berbuat untuk kelangsungan Republik Indonesia.

Siapa pernah menyangka, sosok yang dikagumi sejarawan Audrey Kahin, menurut pemerhati sejarah lokal Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan-sebagai 'otak' dari lahirnya dua organisasi pada masa pergerakan nasional. Dua organisasi itu adalah barisan Giyugun pada masa pendudukan Jepang, serta barisan Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) pada masa PDRI di Sumatera Barat.

Khatib Sulaiman lahir tahun 1906 di Sumpur, sebuah nagari yang terletak di Afdeling (wilayah administratif setingkat kabupaten pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda) Tanah Datar, Sumatera Barat. Leon Salim (1987) dalam manuskripnya berjudul Khatib Sulaiman, menyebut Khatib terlahir dari keluarga mapan. Sedari kecil, putra Haji Sulaiman dan Siti Rahma itu dididik dalam pola budaya Minangkabau.

Pagi berangkat ke Hollandsch Indlandsche School (HIS) Adabiah, sore belajar mengaji dan silat, kemudian malam harinya menginap di surau yang terletak di Pasar Mudik Padang.

Di tengah kemapanan hidup, tambah Fikrul Hanif yang sedang menulis biografi Khatib Sulaiman, usaha dagang ayah Khatib di Pasar Gadang jatuh bangkrut. Di tengah situasi sulit itu, sekolahnya di MULO tetap lanjut atas bantuan saudagar kaya Abdullah Basa Bandaro, seorang tokoh yang terkenal di kalangan kaum nasionalis, islamis, dan komunis pada awal pergerakan kebangsaan di Sumatera Barat.

Di bawah asuhan Basa Bandaro, pola pemikiran Khatib di dunia pergerakan dan pada masa revolusi kemerdekaan telah terbentuk. Lanjut Fikrul, pengalaman hidup Khatib selama 23 di Pasar Gadang dalam menikmati masa pendidikan, violist, maupun mengisi suara untuk film bisu di sebuah bioskop di Padang, turut memberi pengaruh terhadap watak dan kepribadianya.

Pada tahun 1930, Khatib yang hobi menggesek biola ini memutuskan hijrah ke Padang Panjang, episentrum dari pusat pendidikan dan pergerakan kebangsaan. Dalam buku Menuju Lentera Merah ditulis bahwa masa itu Padang Panjang telah menjelma sebagai pusat modernisasi Islam, yang ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah dan dua sekolah Islam modernis Sumatra Thawalib dan Diniyah School.

Euforia pergerakan Islam di Padang Panjang, juga dipengaruhi modernisasi transportasi massal kereta api, yang mendorong mobilisasi manusia dan barang dalam jumlah besar. Menurut Fikrul, disadari atau tidak, segmen-segmen peristiwa besar itu mendorong Khatib untuk terlibat aktif di dalamnya.

Pemuda Khatib masa itu telah mengajar di HIS Muhammadiyah, diminta menjadi juru penerjemah El-Hilaal, sebuah kepanduan milik PMDS dan Sumatra Thawalib. Sampai di akhir 1930 terjadi perpecahan di tubuh El-Hilaal.

Khatib dan sahabatnya Leon Salim memutuskan untuk mendirikan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931.

Penggunaan kata Indonesia dari rangkaian akronim KIM, menurut Fikrul, menarik dicermati. Pengakuan kata Indonesia bisa disebut kali pertama terjadi di Sumatera, khusus untuk kelompok padvinder Islam mau melekatkan kata Indonesia. Tren lain dalam tubuh KIM adalah keterlibatan perempuan dalam kepanduan yang digawangi Dahniar Zainuddin, Timur Latif, dan Dinar Sulaiman.

Di tengah kesibukannya mengurus kepanduan, Khatib tetap menyempatkan dirinya untuk membaca buku-buku bernuansa religius, nasionalis, sosialis, dan lainnya. Kecenderungan-kecenderungan di atas, memang telah menjangkiti kalangan terpelajar dan aktivis organisasi pada awal abad ke-20, sehingga di sela-sela waktu mereka masih menyempatkan diri untuk melahap bacaan dari 'luar' (Kahin, 1996).

Terstrukturnya pola pikir dan gerak cepat Khatib pasca-Kolonial Belanda nantinya, diduga kuat dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang dilahap selama bermukim di Padang Panjang. Rasa nasionalisme yang kuat, mendorongnya untuk membentuk organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, atau yang dikenal dengan PNI Baru. ***

Editor:Hermanto Ansam
Sumber:sindonews.com
Kategori:Umum, Sumatera Barat
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/