Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Jet Pribadi Sandra Dewi Diselidiki Kejagung dalam Kasus Korupsi PT Timah
Hukum
24 jam yang lalu
Jet Pribadi Sandra Dewi Diselidiki Kejagung dalam Kasus Korupsi PT Timah
2
PJ Gubernur Ribka Haluk Buka UKW Perdana Papua Tengah
Umum
23 jam yang lalu
PJ Gubernur Ribka Haluk Buka UKW Perdana Papua Tengah
3
Johnny Depp Berencana Beli Kastil Tua Bersejarah di Italia
Umum
23 jam yang lalu
Johnny Depp Berencana Beli Kastil Tua Bersejarah di Italia
4
Ditanya Kemungkinan Rujuk dengan Farhat Abbas, Nia Daniaty Pilih Bungkam
Nasional
23 jam yang lalu
Ditanya Kemungkinan Rujuk dengan Farhat Abbas, Nia Daniaty Pilih Bungkam
5
KPU DKI Gelar Sayembara Maskot dan Jingle Pemilihan Gubernur Jakarta
Pemerintahan
24 jam yang lalu
KPU DKI Gelar Sayembara Maskot dan Jingle Pemilihan Gubernur Jakarta
https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Emir Abdelkader, Sosok Muslim Humanis Pelindung Kaum Nasrani

Emir Abdelkader, Sosok Muslim Humanis Pelindung Kaum Nasrani
Istimewa.
Senin, 29 Mei 2017 19:47 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Hingga 2017, masyarakat dunia telah banyak dikejutkan dengan peristiwa teror maupun kekerasan. Sebut saja seperti bom Manchester di Inggris, serangan Nice, dan Paris di Prancis, perebutan kota Mosul Suriah, penyiksaan terhadap tawanan perang di Abu Ghraib, pembantaian di Haditha Irak, teror London 7 Juli 2005, juga teror 11 September 2001 yang menyerang jantung kapitalisme Amerika Serikat.

Siapa yang paling dirugikan oleh teror? Korban, tentu saja. Juga mereka yang terdampak langsung oleh serangan keji tersebut. Namun, tak hanya itu. Citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin ikut tercoreng oleh perilaku segelintir orang.

Dalam pidatonya di KTT Arab Islam Amerika (Arab Islamic American Summit) di Riyadh, Arab Saudi, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan bahwa umat Muslim sejatinya paling dikorbankan oleh aksi teror dan radikalisme -- oleh mereka yang mencatut agama untuk melakukan aksi kekerasan, juga oleh serangan balasan yang dilancarkan negara-negara besar.

Bom, rudal, dan serangan drone tak mengenal korbannya. Alih-alih mengenai sasaran, masyarakat awam justru jadi korban.

"Jutaan orang terpaksa mengungsi dari negaranya. Generasi muda kehilangan masa depan dan merasa frustasi," kata Jokowi di depan delegasi, termasuk Raja Salman bin Abdulaziz al Saud dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Padahal, frustasi dan kemarahan itu justru menjadi benih baru ekstremisme dan radikalisme.

Dalam artikelnya yang dimuat di Independent, We must look to the past, not Isis, for the true meaning of Islam, Robert Fisk meminta masyarakat internasional menengok ke belakang( bukan ISIS atau Al Qaeda) untuk memahami kesejatian Islam. 

Lagipula, seperti yang Cicero (sang filsuf Yunani) katakan, 'Historia Vitae Magistra', sejarah adalah guru kehidupan.

Fisk mengangkat kembali sosok besar bernama Emir Abdelkader. Siapa dia?

Lahir pada 6 September 1808, Emir (gelar kebangsawanan Aljazair) Abdelkader merupakan seorang muslim, sufi, syekh, humanis, pejuang, pelindung barbarisme Barat, pelindung umat Kristen.

"Ia sangat mulia bahkan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln mengiriminya sepucuk pistol Colt sebagai tanda kehormatan, dan Prancis memberinya Grand Cross of the Legion of Honour (tanda jasa tertinggi Prancis)," demikian kata Fisk, seperti dikutip dari Independent, Senin (29/5/2017). 

Tak hanya itu, ia amat didukung oleh Victor Hugo seorang seniman Prancis dan Lord Londonderry seorang bangsawan asal Inggris, serta mendapat penghargaan dari Louis-Napoleon Bonaparte (Napoleon III), Raja Prancis.

Menurut Fisk, Abdelkader bukan seorang 'muslim moderat', karena ia dengan tegas melawan pendudukan Kristen Prancis atas negerinya, Aljazair, pada Abad ke-19.

Ia bukan pula seorang 'muslim ekstrem', karena pada saat dipenjara di Chateau d’Amboise Prancis, Abdelkader pernah mendamaikan seorang nasrani dan muslim, serta menyelamatkan sejumlah umat Kristen di Damaskus. 

Apapun, sang Emir lebih terkenal sebagai orang yang humanis, menghargai serta menghormati kawan maupun lawan tanpa memandang status suku, agama, dan rasnya.

Menjunjung Pluralisme

Pada 1830-1837, pria bernama asli Abdelkader bin Muhiedin al-Juzairi berhasil memenangi perang gerilya di Aljazair melawan invasi dan pendudukan Kerajaan Prancis, yang pada saat itu merupakan salah satu bangsa dengan kapabilitas militer terhebat di dunia.

Kemenangan Abdelkader ditandai dengan pendirian sebuah negara di wilayah Aljazair barat, hasil perjanjian dan gencatan senjata dengan Prancis, seperti yang di atur dalam Treaty of Tafna.

Sebagai bukti atas sikapnya yang menjunjung tinggi pluralisme, saat menjabat sebagai kepala negara, sang Emir mempekerjakan sejumlah penasihat kenegaraan dari kalangan Kristen dan Yahudi.

Selain itu, semasa ia menjabat sebagai kepala negara di Aljazair barat, para tahanan yang ditahan di wilayah kekuasaannya --sebagian besar merupakan umat Kristen Prancis-- tetap mampu melaksanakan ibadah keagamaannya.

Abdelkader meminta seorang pendeta untuk melayani ibadah keagamaan para tahanannya yang berasal dari Prancis. Ia bahkan memberi mereka kebebasan sebagai ganti atas apa yang disebutnya sebagai ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar para tahanan.

Akan tetapi, kepemimpinan putra Muhiedin al-Juzairi itu terus diusik oleh Prancis yang tak puas atas kegagalan dalam menginvasi Aljazair.

Pada 1839, Prancis menyerbu batas wilayah negara sang Emir di Aljazair barat dan menandai jilid 2 invasi. Pada 1847, --meski kerap berhasil meraih kemenangan pada sejumlah pertempuran-- Abdelkader harus menyerah kepada Prancis yang telah mampu mengatasi taktik perang gerilya sang Emir.

Ia pun diasingkan ke Chateau d’Amboise Prancis. Namun semasa pengasingannya, Abdelkader tetap konsisten menyerukan perdamaian dan toleransi persaudaraan antar umat beragama. Hal ini ditunjukkan dengan aksinya yang mendamaikan pertikaian antara seorang nasrani dan muslim.

Saat diasingkan, sang Emir juga intensif mendalami filsafat Plato, Socrates, Aristoteles, Ptolemy, dan Averos, serta belajar Bahasa Prancis. Ia menulis buku berjudul Call to the Intelligent, Warning to the Indifferent, sebuah buku tentang toleransi keagamaan.

Saat masa pengasingannya habis pada 1852, putra Muhiedin al-Juzairi itu pindah ke Damaskus dan diminta oleh Prancis untuk tidak kembali ke Aljazair. ***

Sumber:Liputan6.com
Kategori:GoNews Group, Umum, Peristiwa
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/