Home  /  Berita  /  Umum
Profil Kapolres Bengkalis AKBP Hadi Wicaksono

Sempat 'Terdampar' dalam Kasus Bank Century, Kini Pria yang Pernah Mondok di Gontor Ini Pimpin Polres Bengkalis

Sempat Terdampar dalam Kasus Bank Century, Kini Pria yang Pernah Mondok di Gontor Ini Pimpin Polres Bengkalis
Kapolres Bengkalis, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hadi Wicaksono saat bertugas.
Jum'at, 23 Desember 2016 07:21 WIB
Penulis: Ira Widana
MURAH senyum, ramah, sederhana dan religius, itulah yang disampaikan oleh anggota Polres Bengkalis, tentang sosok Kapolres Bengkalis, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hadi Wicaksono. Meski nampak sebagai sosok yang sederhana, namun pria kelahiran Cianjur, Jumat, 10/5/1974 ini, sempat ''terdampar'' untuk menangani beberapa kasus-kasus besar seperti Bank Century dan beberapa kasus kejahatan perbankan lainnya.

Hadi Wicaksono adalah putra keempat dari ibu bernama Siti Setiawati dan ayah Soetomo. Awalnya, ia tidak pernah bercita-cita ingin menjadi polisi atau perwira. Tetapi ia sadar, setiap harapan memang selalu ingin menjadi kenyataan. Namun setiap takdir selalu menghadirkan skenario yang tak terduga. Dan harapan juga kadang tak seirama dengan takdir.

Dikisahkan Dadang (panggilan masa kecil AKBP Hadi Wicaksono), sejak mulai mengenal dunia pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia masih berada dekat dipelukan sang Ibu yakni tetap berada di kota kelahirannya.

"Saya ini bisa dibilang anak yang sangat manja sama Ibu. Sampai SD kelas 4 saja saya disuapin makan oleh Ibu. Bagi saya Ibu itu segalanya di dunia ini. Saya SD di sekolah yang namanya SD Ibu Zainab 1 dan lanjut ke SMPN 1 di Cianjur," kata AKBP Hadi Wicaksono.

Setelah lulus SMP, ia harus berada jauh dari Ibu tercinta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Nusantara, Magelang. Meninggalkan orangtua saat itu sangat berat baginya.

"Dari kecil sama orangtua, dan harus pisah karena pendidikan. Itupun diluar kemauan saya. Dan saya masuk ke Taruna Nusantara, Magelang angkatan pertama tahun 1990, isinya laki-laki semua," gumamnya lagi sembari mengingat sang Ibu.

Memang saat itu meskipun bosan tapi ia harus tetap tegar menjalani kehidupan asrama, belajar sistem ala militer karena dipersiapkan untuk menjadi militer. Hingga tahun ketiga berlalu, ia sempat mengubah cita-cita karena jenuh dan lelah dengan kehidupan asrama.

''Tidak ada kebebasan disana, dan ada keinginan kuliah di universitas. Saya balik ke Cianjur dan daftar UMPTN di Bandung, pilih fakultas Sospol Universitas Indonesia (UI), jurusan Hubungan Internasional (HI)," kata Hadi.

Namun harapan Dadang kecil itu tidak lagi mulus. Sang ayah memberikan pesan khusus kepadanya sebagai satu-satunya putra Soetomo yang kelak akan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang perwira. Meski batinnya menolak keras, tapi ia tidak ingin harapan ayahnya pupus hingga ia harus mengalah untuk kebahagiaan ayahnya.

''Saat saya pulang itu ada cerita sedihlah, hingga membuat hati saya terenyuh setelah mendengarnya. Meskipun sebelumnya saya sudah tekadkan tidak akan kembali ke asrama. Tapi akhirnya saya balik lagi untuk mendaftar di Akpol, sesuai dengan jurusan saya waktu SMA itu adalah IPS,'' tuturnya.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/23122016/hadi3jpg-5417.jpg

Tepat 1 Agustus 1993, ayah 3 anak ini kembali dihampiri kegalauan. Baginya hari itu menjadi hari bersejarah karena ia harus menentukan pilihan apakah melanjutkan keinginan ayahnya atau melanjutkan keinginan hatinya yang juga lulus atau diterima tes UMPTN di Fakultas UI.

''Hari pengumumannya bersamaan, Akabri dan UMPTN saya sama-sama lulus. Saya simpan nomor tes itu di dompet, saat menemukan koran yang berisikan pengumuman itu saya cek, nomor saya lulus. Saya sedih dan lagi-lagi galau. Berpikir ternyata hidup itu seperti ini rumitnya. Dihadapkan dengan berbagai pilihan,'' gumamnya lagi dengan ekspresi sambil mencoba menahan rasa yang dulu pernah dirasakannya.

Hingga pada pilihannya untuk sang ayah, Hadi mencoba bisa berdiri tegak menyongsong hari-hari kembali di dalam asrama, disambut dengan sesuatu yang membuat jenuh dan bosan. Bahkan ia seakan terbiar dalam kehampaan untuk memilih menjadi polisi, disaat ia rindu dunia luar.

Tetapi saat tirai kegalauan mulai tersibak dan fatamorgana menjauh dari realita, hingga tersingkaplah kebenderangan, Hadi merasa mendapat kedamaian yang hakiki menjalankan keinginan ayahnya untuk menjadi seorang perwira.

''Pendidikan Akpol itu bukan keinginan saya, banyak beban berat yang saya jalani saat disana. Mulai dari loyalitas kepada senior dan lain-lainnya. Bahkan tidur sambil lari yang bukan hal baru di pendidikan militer sering saya rasakan. Singkat cerita saya lulus setelah 4 tahun, tetapi 1 tahun terakhir itu hanya masa pendalaman mengikuti kursus seperti di reserse, kebetulan saya di bagian intelnya,'' kata Hadi lagi.

Mulai Karir Sebagai Polisi dan Prestasi

Pertama kali dinas sebagai polisi tahun 1997, dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi, Hadi Wicaksono ditugaskan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur sebagai Samapta di Polres. Hanya beberapa bulan disana, akhirnya ia ditarik ke Mega Mendung untuk sekolah selama 2 bulan dan ditugaskan ke Situbondo menjadi Kapolsek Panji tahun 1998 hingga 2001.

''Karena ada konflik besar antara masyarakat dengan Ormas Pemuda Islam saat itu di Bondowoso hingga Kapolseknya menjadi korban penganiayaan pembacokan, maka saya saat itu langsung ditarik untuk sekolah. Saya salah satu polisi yang melakukan pendekatan prevensif dengan ormas yang menyebabkan Kapolsek terkena luka bacok saat itu, mungkin bisa saja untuk menyelamatkan saya saat itu,'' bebernya.

Saat menjabat sebagai Kapolsek Panji, tahun 1999 ia sempat menyelesaikan satu kasus yang hingga saat ini tidak pernah dilupakannya dan membuatnya ingat dengan keinginan ayahnya.

Masa itu, masyarakat di wilayah Polsek Panji terprovokasi dengan isu santet yang dibawa oleh salah satu keluarga. Rumah diduga pelaku santet itu sudah dikepung ratusan massa yang menyalakan obor untuk membakar rumah.

''Saya turun langsung dan beradu argumen dengan masyarakat yang terprovokasi. Situasi semakin memanas, saya bilang, saat ini yang ngomong masih mocong saya sendiri, tapi nanti mocong senjata saya yang akan bicara. Akhirnya, mulai redam dan satu keluarga yang dituduh sebagai dukun santet itu berhasil saya evakuasi ke Polres saat itu,'' cerita Hadi.

Beberapa hari kemudian saat suasana mulai tenang, orang yang memprovokasi masyarakat dipanggil ke Polsek untuk dimintai keterangan. Dan tetap masih merasa benar pada tuduhannya, sehingga dilakukan sumpah pocong saat itu kepada keluarga dituduh dukun santet dan orang yang menuduhnya.

Dengan artian, siapa yang berbohong maka akan kena hukuman dari sumpah yang dijalaninya tersebut. Singkat cerita, hal kebenaran akhirnya terungkap, keluarga yang dituduh dukun santet mendatangi Mapolsek Panji dan menyampaikan rasa terimakasihnya dengan mencium kaki Hadi Wicaksono yang sudah menyelamatkan seluruh anggota keluarganya dari ancaman amukan massa.

''Disaat itulah saya merasa bahagia dengan profesi saya sebagai polisi. Saya bisa menyelamatkan hidup orang lain yang sedang dalam bahaya. Saya tidak menginginkan ungkapan terimakasih seperti itu, tetapi saya tidak bisa bergerak untuk berdiri, karena begitu masuk ruang kerja saya, keluarga itu bersama-sama mencium kaki saya sambil mengucapkan terimakasih. Saya sedih, saya ingat ayah saya,'' katanya sambil menghela nafasnya dalam-dalam.

Selanjutnya 2001, Hadi ditarik ke Polda dibagian Intel untuk pengamanan di Kasubag Paminal. "Jabatan yang luar biasa menurut mereka sebelum saya. Karena ada 41 Polres di wilayah itu dan ada japrem (jatah preman) namanya kala itu untuk jabatan yang saya duduki. Alhamdulillah selama 1 tahun disana, saya tidak pernah menikmatinya,'' tuturnya.

Di tahun 2002, Hadi bergeser ke Jombang sebagai Kasat Intel dan masuk PTIK tahun 2003. Dan setelah lulus PTIK ia ditugaskan di Makasar selama 2 tahun.

''Setiap hari saya berdoa agar dipindahkan ke tempat dimana saya bisa mendalami agama Islam. Ternyata saya dapat tugas ke Maluku Utara, dan syiar agama Islam pertama itu berawal dari Ternate dan 10 bulan saya menjabat Kabagops di Ternate. Tepat 2006, saya ditarik ke Mabes Polri hingga 2012,'' ungkapnya lagi.

Saat ditanyakan prestasinya selama menjadi polisi, sosok pria yang sederhana ini justru menjawab, prestasinya adalah bisa membanggakan kedua orangtuanya dan menyelesaikan tugas-tugas dari pimpinannya sesuai dengan bidang yang didalaminya sejak awal menjadi polisi.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/23122016/cakjpg-5418.jpgAjun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hadi Wicaksono bersama keluarga.

Bahkan saat masih berpangkat AKP, ia sudah dipercaya untuk memeriksa pelaku kasus bank BNI. Harusnya kontrak hanya 2 tahun di Bareskrim itu diperpanjang karena ada kasus perbankan yang baru yaitu kasus bank Century.

Polisi yang memiliki hobi sangat jarang dimiliki kebanyakan polisi yakni melukis ini masuk Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan Polri) tahun 2012.

''Saat lulus saya sempat ditawari balik ke Bareskrim, akhirnya saya masuk ke Riau, sebagai Kasubdit II Perbankan di Krimsus Polda Riau. Kembali saya menangani kasus Bank BNI dan Bank Riau Kepri yang cukup bombastis. Lalu terlalu laju mungkin ya, saya digeser ke ESDM hampir 2 tahun,'' ujar suami dari Fitri Farida ini.

Hadi yang juga dulunya sempat mondok di Gontor (bergabung di pondok pesantren) ini akhirnya mendapat jabatan sebagai Kapolres Inhil selama 1 tahun 3 bulan dan karena prestasinya juga ia dipercaya oleh Kapolda Riau saat itu untuk menjabat sebagai Kapolres Bengkalis menggantikan AKBP Aloysius Supriadi, Agustus 2016.

''Dulu itu karena saya suka ikut bergabung di pondok pesantren, jadi banyak kiyai yang menganggap saya ini anak mereka. Sehingga saat ada Kapolda Susanto pernah berkunjung ke salah satu Ponpes Wali Songo itu, Kiyai H Alim berpesan kepada Kapolda, kalau anak saya ini pindah, pangkat atau jabatannya harus naik. Jadi 3 tahun saya di Situbondo tanpa naik jabatan. Saya juga selalu ikut Gusdur. Berkumpul dengan kelompok agama itu membuat saya tenang saat itu," katanya mengulas kembali masa lalunya.

Keluarga Sangat Mendukung

AKBP Hadi Wicaksono yang dulunya tidak ingin menjadi polisi ini sudah memiliki anak 3 dari istri tercintanya Fitri Farida yang juga kelahiran Cianjur, 18 Agustus 1977. Meski sudah menjadi seorang sarjana, AKBP Hadi Wicaksono bangga dengan ketulusan hati sang istri yang memilih menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya dimanapun ia ditugaskan.

''Meski dia bukan teman wanita pertama yang saya kenal, tetapi dia adalah wanita yang paling setia mendampingi saya dan anak-anak dalam keadaan atau kondisi apapun. Dia istri dan ibu yang hebat buat anak-anak saya,'' ujar Hadi dengan senyum ramahnya.

''Saya ini nurut saja dengan orang tua. Dulu diminta sekolah militer saya nurut saja, lalu saat ayah saya bilang waktunya menikah, saya juga nurut saja. Ayah saya juga yang mengenalkan saya dengan istri saya ini. Istri saya adalah anak dari sahabat ayah saya sendiri sejak dari kecil. Jadi apapun pilihan orangtua, saya saat itu untuk saya, adalah yang terbaik. Makanya saya nurut saja,'' katanya lagi.

Hadi mengaku menikah dengan wanita pilihan ayahnya yang begitu dicintainya hari ke hari tahun 2002 dan mendapatkan hadiah terindah M Hisyam Atha Syaban, 3 Oktober 2003, kemudian M Hakim Aufa Siqdi, 31 Maret 2006 dan Farisya Azra Syakirah, 7 November 2013.

''Lahirnya anak-anak saya ini punya cerita lucu dan sedikit unik. Awal nikah kita LDR, lalu istri saya bawa dari Bandung ke Jombang dan akhirnya istri hamil. Saat 7 bulanan saya elus perut istri saya, saya bisikin ke anak saya, 'Nak bapak ini lahir di Cianjur, ibumu juga di Cianjur, jadi kalau kamu mau lahir di Cianjur juga doain bapak ya supaya pindah', akhirnya lahir memang di Cianjur. Doa terkabul, begitu juga pada saat hamil anak ke dua, saat itu tugas di Ternate, Alhamdulillah juga terkabul hingga anak kedua juga lahir di Cianjur. Nah anak ketiga ini yang beda. Belum sempat minta doa, udah lahir duluan saat 7 bulan kandungan, makanya sampai sekarang saya masih bertahan di Riau. Coba kalau cukup 9 bulan, kan saya bisa minta doakan juga. Biar balik ke Jawa dan tidak lagi di Riau,'' tuturnya.

Dengan tugas yang berpindah-pindah ini, katanya, anak-anak sempat protes karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Namun dengan pengertian yang diberikan oleh ibunya dan saya, anak-anak paham dengan tugas sebagai seorang polisi itu. ''Kita masih tinggal di Pekanbaru, karena wilayah tugas saya masih di Riau,'' ungkapnya.

Hadi sendiri juga tidak ingin dikatakan sebagai ayah yang memaksakan kehendaknya kepada anak. Tetapi ia ternyata juga memiliki harapan yang sama dengan ayahnya dulu, yaitu agar nanti ada salah satu dari putranya yang bisa menjadi perwira.

''Sesekali, saya mulai membawa anak-anak dalam kegiatan kepolisian. Dengan tujuan mereka bisa melihat sendiri seperti apa tugas seorang polisi itu dan berkeinginan untuk menjadi polisi juga meneruskan jejak saya dan ayah saya. Dan keinginan itu bisa saya lihat pada anak pertama saya, Insya Allah,'' ujarnya.

Menurutnya, Program Kapolri Tito Sudah Sejalan dengan Visi Misinya saat Menjabat Kapolres Inhil

''Saya memiliki harapan yang besar kepada Polri ini kedepannya. Konsep yang saya jalankan di Inhil sangat pas sekali dengan yang dibuat oleh pak Tito. Saya sudah menjalankan itu di Inhil dan sekarang sedang saya jalankan di Bengkalis sampai hari ini. Melakukan komunikasi dengan masyarakat, menggali informasi dari masyarakat, maka tugas polisi akan ringan. Semua masyarakat harus kita rangkul tanpa terkecuali, itu konsep yang penting,'' kata Hadi.

Sebagai pemimpin, ia juga bertanggung jawab menularkan hal positif kepada bawahannya dan harus melakukan perubahan lebih baik lagi agar dapat menjadi contoh oleh anggotanya. ***

Kategori:Umum, GoNews Group
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/