Home  /  Berita  /  GoNews Group

Sistem Pemilu Saat Ini Dianggap Tak Adil, Airlangga Hartato: Siapa Punya Modal Saja yang Bisa Berkompetisi

Sistem Pemilu Saat Ini Dianggap Tak Adil, Airlangga Hartato: Siapa Punya Modal Saja yang Bisa Berkompetisi
Politisi sekaligus calon Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartato. (istimewa)
Senin, 18 April 2016 18:21 WIB
Penulis: Daniel Caramoy
JAKARTA- Calon Ketua Umum (Caketum) Partai Golongan Karya (Golkar), Airlangga Hartarto (AH) mengatakan bahwa sistem pemilu saat ini sangat tidak adil. Pasalnya, pertarungan sangat terbuka, di lepas ke pasar seperti pasar bebas dan mengadalkan kekuatan modal.

Akibatnya kata Airlangga, hanya yang populer dan memiliki modal yang akan menang. Sementara yang memiliki ide, pemikiran dan militansi, baik untuk partai maupun negara tidak terpilih dalam pemilu. Penyebabnya karena mereka tidak memiliki modal yang banyak.

"Sistem sekarang sangat tidak adil. Kita tidak bisa membiarkan terus seperti ini," kata Airlangga kepada Legislatif.co (GoNews Group), Senin (18/04/2016) di Jakarta.

AH juga menjelaskan, jika dirinya terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) Golkar, akan mendorong sistem pemilu campuran antara sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Dirinya meyakini sistem campuran itu akan memberikan keadilan.

"Sebagaimana diketahui sistem proposional terbuka menggunakan suara terbanyak. Artinya, yang lolos menjadi anggota parlemen adalah yang memiliki suara terbanyak pada saat pemilu. Sementara proposional tertutup adalah pemilu berdasarkan nomor urut," tukasnya.

Menurut AH , yang menempati nomor urut satu atau dua, punya peluang besar terpilih dalam pemilu. Penentuan nomor urut ditentukan oleh partai politik (parpol). "Sistem ini pernah dilakukan pada pemilu 1999 dan 2004. Namun dihentikan pada Pemilu 2009 karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemilu memakai sistem proposional terbuka atau suara terbanyak," jelasnya lagi.

AH yang saat ini menjadi anggota Komisi XI DPR menjelaskan kedepan, agak sulit untuk kembali ke proporsional tertutup karena sudah dibatalkan oleh MK.

Di sisi lain menurut AH, jika tetap memakai sistem proposional terbuka maka pengalaman Pemilu 2009 dan 2014 akan terulang kembali yaitu pertarungan menjadi sangat bebas dan tak terkendali. Yang terpilih pun yang populer dan yang punya uang banyak. Sementara yang punya kemampuan tetapi tidak punya modal tidak terpilih.

"Kami  ingin memberi ruang kepada mereka yang punya kemampuan tetapi tidak punya modal. Mereka kebanyakan aktivis partai. Sehari-hari hidupnya di partai. Ada juga tokoh independen tetapi tidak punya modal. Nah, sistem kombinasi akan mengakomodasi mereka," ujar mantan Ketua Umum Persatuan Insyinur Indonesia (PII) ini.

Dirinya juga mengungkapkan bahwa negara yang berhasil jalakan sistem kombinasi itu saat ini adalah Jerman dan New Zeland. Negara-negara itu memakai setengah sistem proporsional terbuka dan setengah sistem tertutup.

"Kalau Jerman dan New Zeland berhasil, kenapa kita tidak. Kita harus pakai sistem itu supaya tidak hanya yang kompeten dan modal besar yang terpilih, tetapi juga modal terbatas tetapi aktif di politik. Kita ingin cari format yang sesuai dengan budaya kita yaitu musyawarah. Sistem kombinasi menjadi jawabannya," tutur mantan Ketua Komisi VI DPR.

Dirinya menambahkan sistem campuran juga diperlukan untuk memperbanyak kader perempuan di parlemen. Saat ini, kuoata untuk perempuan memang sudah mencapai 30 persen. Tetapi keterpilihannya sangat rendah karena memakai sistem terbuka yang mengandalkan uang. Tokoh permpuan yang idealis tetapi tidak punya modal, jarang terpilih.

"Sistem itu pernah dibahas di DPR tetapi mungkin tidak matang. Makanya tidak dilanjutkan. Kita harus memulai lagi supaya tidak seperti pasar bebas," tegasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Senior, Ray Rangkuti juga mendukung ide AH tersebut. Karena menurutnya pemikiran dirinya sependapat dengan AH bahwa pemilu sekarang menganut sistem pasar bebas, di mana yang punya uang banyak yang menang.

Dirinya berharap DPR bisa mengevaluasi sistem yang ada dengan tetap memberi ruang kepada kader yang tidak punya modal tetapi memiliki kemampuan idealisme dan kapastitas. Revisi sistem pemilu harus bisa mengatasi persoalan yang terjadi saat ini.

"Sistem campuran itu menarik tetapi harus benar-benar kajian yang matang dan mendalam. Jangan sampai menimbulkan keguncangan politik," tegasnya. ***

wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77