Rektor UKI: Kewenangan DPD RI Harus Lebih Diperkuat
Penulis: Daniel Caramoy
Untuk itu, UKI memandang perlu dilakukan amandemen kelima UUD 1945. Hal tersebut disampaikan Ketua Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan John Pieris saat menerima Usulan Amandemen Kelima UUD 1945 di Nusantara III Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (15/03/2016).
“Menurut saya perguruan tinggi merupakan sumber konsepsi atau sumber perspektif, sehingga harus lebih banyak mendengar. Setelah ini kita akan melakukan hal yang sama dibeberapa perguruan tinggi di daerah-daerah,” ucap Pieris.
Menurutnya, saat ini isu-isu politik berkembang luar biasa secara liar. Sehingga kotak pandora itu bisa dibuka kapan pun oleh orang lain. “Itu tidak hanya GBHN atau kewenangan DPD. Makanya kita mengantisipasi pemikiran seperti itu,” tegas senator asal Maluku itu.
John juga menambahkan, pada proses penguatan DPD ini tidak semata-mata datang dari partai politik, tapi dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga kajian. “Semua mempunyai pandangan yang sama, bahwa amandemen merupakan kemestian. Proses ini bergulir sangat luar biasa, sangat produktif,” papar dia.
Untuk saat ini, sambungnya, sudah tak terhitung perguruan tinggi yang meminta untuk DPD diperkuat. Lima tahun lalu saja, hampir 80 universitas di Indonesia baik dari negeri dan swasta meminta DPD diperkuat. “Untuk itu kita harapkan tahun ini menjadi momentum amandemen kelima UUD 1945 dapat terwujud,” kata John.
John mengatkan, pada tahun 2017 nanti, semua akan sibuk menyiapkan pemilu serentak dan Pilpres. “Sehingga hal itu menyita energi politik pemerintah,partai politik, dan DPD. Tetapi agenda-agenda sebelumnya harus segera dibentuk panitia ad hoc,” tuturnya.
Sementara itu, Rektor UKI Maruarar Siahaan menjelaskan peran DPD sekarang ini sangat minimal, artinya dalam beberapa proses legislasi belum mengoptimalkan peran DPD sesuai konstitusi. “Problemnya sekarang ini, kita melihat konstitusi sebagai hukum positif dalam arti perubahan terjadi,” tukas dia.
Ia menambahkan DPD merupakan produk dari MPR namun secara konstitusional haknya tidak terlaksana. Hal itu tentunya menimbulkan pertanyaan. “Apakah semua pejabat dan aparatur negara patuh terhadap konstitusi. Seharusnya, negara hukum itu harus tunduk terhadap hukum dan konstitusi. Maka hukum tertinggi itu adalah konstitusi,” terang Maruarar.
Oleh karena itu, Maruarar menilai problem bangsa yang mendasar ini apakah konstitusi atau cara hukum akan lebih efektif atau tidak. Mungkin ada masalah dalam hal ini karena ada pandangan yang ingin merubah keadaan. “Ada yang ingin merubah UUD 1945, hal itu sah-sah saja karena kita merupakan bangsa yang ingin baik. Maka kemungkinan perubahan itu akan diharapkan,” paparnya.
Persoalannya, lanjut Maruarar, perubahan yang sudah dilaksanakan (keputusan Mahkamah Konstitusi terakait kewenangan dan kedudukan DPD dan DPR) belum diterapkan. Tentunya hal itu menjadi problem. “Makanya saya sering mengatakan bahwa akan ada krisis konstitusi kalau saja lembaga negara tidak mematuhi institusi itu sendiri,” pungkasnya. (**/dnl)
Kategori | : | GoNews Group, Politik |