Home  /  Berita  /  Umum

Kembangkan Songket Sumbar, Arsitek Swiss Ini 10 Tahun Tinggal di Agam dan Berharap Kitas

Kembangkan Songket Sumbar, Arsitek Swiss Ini 10 Tahun Tinggal di Agam dan Berharap Kitas
Senin, 14 Desember 2015 20:17 WIB
BUKITTINGGI - Sudah lama menetap di Indonesia dan merasa sudah berbuat banyak bagi masyarakat khususnya dalam dunia tenunan, nyatanya sepasang suami-istri asal Swiss ini mengaku belum dapat Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) di tempatnya mendirikan studio tenun "Sumatera Loom'" di Jorong Panca, Batu Taba, Agam.

"Sampai hari ini status kami masih turis," keluh Erika saat dikunjungi di kediamannya, beberapa waktu lalu.

Studio ini didirikan sejak sepuluh tahun silam dan dalam perkembangannya, Erika bersama sang suami Bernhard Bart sudah memperkerjakan 10 warga lokal untuk membuat berbagai tenun dengan kualitas nomor satu.

Awalnya, Bernhard yang seorang arsitek jatuh cinta dengan songket Minangkabau sejak tahun 1996. Ketika itu Ia sudah mengumpulkan berbagai motif songket dari berbagai penjuru dunia dan beranggapan jika motif yang dari Indonesia terutama Koto Gadang, Minangkabau yang paling halus desainnya. Karena itu Ia memutuskan untuk menetap di berbagai tempat di Indonesia sebelum akhirnya tinggal di Panca.

Kecintaannya pada songket ini sungguh luar biasa. Bernhard rela melepas statusnya sebagai arsitek sukses di negaranya demi memperdalam, mengembangkan dan menghidupkan kerajinan khas Minangkabau ini.

"Saya cinta akan tenunannya ini," katanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.

Sayangnya, usaha untuk mendapat KITAS selalu terganjal dan selama satu kali dalam dua bulan Ia terpaksa memperpanjang visa agar tetap bisa tinggal di Indonesia.

"Saya tidak tahu kenapa sulit memperoleh KITAS. Sudah pernah kami coba di Jakarta untuk mendapatkannya tapi tetap tak bisa," kata Erika.

Suami-Istri ini pun mengaku senang jika tinggal di sini karena masyarakat lokal amat ramah dan terbuka. "Orang-orang baik-baik kepada kami." lanjutnya.

Karena sudah lama menetap, Bule Eropa ini pun mengaku sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar bahkan sering pula dikunjungi oleh orang yang tertarik dengan tenunan terutama dari kalangan mahasiswa. Kendati demikian, soal selera mereka tak sesuai dengan masyarakat Minang.

"Masakan di sini pedas-pedas, karena itu saya masak sendiri," tambah Erika.

Selain itu, Erika mengaku tak suka dengan perilaku warga yang suka merusak lingkungan.

"Saya pernah melihat gundukan sampah yang tinggi di Bukittinggi. Itu sama sekali tak enak dilihat,'' tutupnya. ***

Editor:Hermanto Ansam
Sumber:lensaindonesia.com
Kategori:Umum, Agam, Sumatera Barat
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/