Home  /  Berita  /  Umum

Bung Hatta, Pemimpin yang Menjaga Nurani Bangsa

Bung Hatta, Pemimpin yang Menjaga Nurani Bangsa
Bung Hatta
Rabu, 12 Agustus 2015 20:53 WIB
Penulis: Hermanto Ansam

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta,
Pada stelan jas putih dan pantalon putihnya,
Simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia,
Tidak sudi berhutang,
Kesederhanaan yang berkilau gemilang,
(Taufiq Ismail, "Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta", 2014)

Hari ini, Rabu (12/8/2015), 113 tahun lalu di Bukittinggi, Sumatra Barat, lahir seorang Bapak Bangsa Indonesia, Bung Hatta. Pemilik nama lengkap Muhammad Athar ini mewarisi darah ulama dan saudagar dari kedua orang tuanya. Tidak mengherankan, demikian kata sejarawan UI Anhar Gonggong, Bung Hatta terbiasa memadukan keilmuwan duniawi dengan keteguhan prinsipnya sebagai seorang Muslim.

"Bung Hatta itu adalah orang yang jujur pada dirinya dan pada diri orang lain. Artinya, kejujuran adalah pegangan utama dalam hidupnya," ujar Anhar Gonggong, Senin (10/8/2015).

Di tempat lain, penulis biografi Bung Hatta, Mavis Rose (1991:364), menuliskan kutipan dari sosok proklamator tersebut: "Salah satu hal yang harus diajarkan kepada masyarakat Islam ialah bahwa mereka harus menganut ilmu garam, yang terasa tapi tidak terlihat, bukan ilmu lipstik, yang terlihat tetapi tidak terasa." Rupanya, prinsip itulah yang dengan teguh Bung Hatta tunjukkan, baik sebagai pejuang kemerdekaan maupun pembela demokrasi.

Ketika belajar di negeri Belanda, sebagian besar waktu kuliah Bung Hatta muda tercurah untuk memimpin Perhimpunan Indonesia (PI). Goresan penanya selalu dengan keras mengecam penjajahan dan menyuarakan kemerdekaan. Puncaknya, pada 24 September 1927 bersama dengan tiga kawan seperjuangannya di PI, Bung Hatta dijebloskan ke penjara Cassiusstraat atas tuduhan berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pledoinya di pengadilan Den Haag menelanjangi standar ganda kolonialisme yang dinilainya "berpikiran sempit dan licik." Belakangan, vonis bebas majelis hakim Den Haag terhadap empat aktivis PI tersebut justru disambut gembira sebagian rakyat Belanda yang humanis.

"Kami telah disiksa selama bertahun-tahun di negeri ini dengan segala macam cara. Kami berpikir bahwa kami akan menikmati, di tanah Grotius, di mana orang membual tentang hak asasi dari warga negara yang bebas, hak-hak dasar yang sama," demikian penggalan pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka.

Menurut Anhar, Bung Hatta tercatat sebagai doktorandus ilmu ekonomi pertama Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam (kini Erasmus Universiteit Rotterdam), Belanda. Alih-alih meneruskan karier di negeri orang, rasa cintanya untuk melihat Indonesia merdeka membuatnya segera kembali ke Tanah Air, setelah 11 tahun lamanya belajar di Eropa. Pergerakan nasional menjadi bersatu di bawah kepemimpinan dwitunggal Sukarno-Hatta. Dua Bapak Bangsa ini mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 serta penyerahan kedaulatan pada 1949.

Sederhana
Setelah Indonesia merdeka, Anhar menceritakan, Bung Hatta tak ambisius untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Ambisi Bung Hatta hanyalah demi mewujudkan kemakmuran ekonomi dan mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia seluruhnya. Hal ini tampak dari konsistensinya untuk hidup sederhana dan berkhidmat untuk kepentingan negara.

Anhar menyebut, pernah suatu ketika istri Bung Hatta lama menabung untuk bisa membeli sebuah mesin jahit. Namun, ternyata Nyonya Rahmi Hatta mesti kecewa lantaran uang tabungannya tak mencukupi. Sebab, pemerintah memberlakukan kebijakan sanering atau pemotongan nilai mata uang menjadi 10 persen dari nilai semula. Anhar menuturkan, saat ditanya, Bung Hatta yang saat itu wakil presiden menjawab lembut kepada istrinya: "Ini rahasia negara, Bu. Tidak boleh bocor ke siapa pun."

"Itu autentisitas Bung Hatta sebagai pemimpin yang saya kira tidak ada duanya," ucap Anhar.

Sebagai pejuang prodemokrasi, keteguhan hati Bung Hatta tampak dari momentum peralihan bentuk negara Indonesia, dari negara federasi (RIS) ke negara kesatuan (NKRI) pada 1950. Bung Hatta merelakan jabatannya sebagai perdana menteri RIS ikut terhapus. Demikian pula, sejarawan Anhar Gonggong menjelaskan, ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden lantaran sudah tak sejalan dengan sahabat seperjuangannya, Bung Karno.

"Dia mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan oleh Bung Karno itu hanya akan seumur dengan usia Bung Karno. Itu ditulisnya dalam (buku) Demokrasi Kita," ungkap Anhar.

Dampak dari memimpin adalah menderita. Ketika kembali menjadi rakyat biasa, Bung Hatta tetap mengkritisi sejumlah kebijakan Presiden Sukarno yang dinilainya salah langkah dan cenderung merugikan rakyat Indonesia. Misalnya, terkait cara pemerintah saat itu mengatasi lonjakan inflasi yang sudah mencapai 650 persen. Bahkan, seperti disebut Mochtar Lubis dalam buku Hati Nurani Melawan Kezaliman, Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno 1957-1965 (1986), Bung Hatta sendiri merasakan kesulitan dalam memenuhi biaya hidup sehari-hari keluarganya.

Dalam sebuah surat kepada Bung Karno tertanggal 17 Juni 1963, Bung Hatta menuliskan kegelisahannya akan nasib bangsa ke depan.

"Tujuan kita sosialisme, tetapi mismanagement pemerintah dalam hal ekonomi menimbulkan satu golongan kapitalis baru yang memandang dirinya 'orang elite', yang hidupnya mewah dan menganggap dirinya kelas yang diperlukan benar oleh orang-orang pemerintah di pusat dan daerah. Pertentangan kaya dan miskin sangat mencolok mata, belum pernah setajam sekarang ini." (Lubis, 1986:81).

Kendati demikian, hubungan baik di antara kedua tokoh bangsa itu tetap hangat. Misalnya, pada 12 Juli 1963 Presiden Sukarno menjenguk Bung Hatta yang sedang terbaring sakit di RSUP Jakarta. Tampak bahwa keduanya sebenarnya masih satu tujuan, yakni persatuan dan kemajuan bangsa, meskipun masing-masing sudah memilih jalan yang berbeda.

Bung Hatta konsisten menyuarakan solusi kepada pemerintah yang dinilainya masih kurang berpihak pada penderitaan rakyat. Deliar Noer (1990:669) mengutip tulisan Bung Hatta mengenai kemerosotan moral menjelang runtuhnya Orde Lama: "Kita selalu mencela dasar l'exploitation de l'homme par l'homme yang berlaku di zaman imperialisme kolonial. Tetapi, jangan dasar yang jelek itu diganti dalam Republik Indonesia kita ini dengan sistem yang lebih jelek lagi, yaitu l'exploitation de l'homme par l'etat (eksploitasi manusia untuk negara)."

Keberpihakan Bung Hatta pada hak-hak dasar rakyat tak gentar memasuki era Orde Baru. Bung Hatta berkeyakinan, tugas utama seorang pemimpin demokratis ialah memikirkan siapa penggantinya, bukan bagaimana mempertahankan kekuasaan terus-menerus. Mavis Rose menyebutkan, salah satu bentuk partisipasi politik Bung Hatta, yakni pengajuan petisi kepada DPR yang menyatakan bahwa Orde Baru telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945.

Sejumlah pasal di dalam konstitusi pun merupakan warisan pemikiran Bung Hatta. Khususnya, terkait sistem ekonomi nasional pada Pasal 33 UUD 1945. Mantan menteri koperasi dan UKM Adi Sasono memandang, era Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini sejatinya merupakan saat yang tepat untuk mewujudkan cita-cita Bung Hatta dan para the founding fathers di UUD 1945. Sebab, lanjut dia, Presiden Jokowi telah mencanangkan, baik secara lisan maupun tertulis, nawacita dan trisakti sebagai komitmen untuk arah bangsa ke depan.

Politik ekonomi berdikari Bung Hatta termaktub dalam pandangannya tentang koperasi. Selain itu, ungkap Adi Sasono, Bung Hatta menegaskan bahwa pangkal ekonomi Indonesia sejatinya ada di dalam negeri, bukan pada aspek ekspor. Sebab, Indonesia sudah memiliki sejumlah aspek pendukung untuk ekonomi berdikari, semisal luas wilayah, jumlah penduduk yang banyak, potensi pasar yang sangat besar, serta sumber daya alam.

"Jadi, secara teoretis, kita bisa meminimalkan hubungan ketergantungan dengan pihak asing. Jangan mengutamakan tujuan ekspor sebagai sasaran ekonomi nasional. Kalau itu yang dilaksanakan, kita seperti mengubah ujung jadi pangkal. Itu kata Bung Hatta," jelas Adi Sasono yang pernah menjadi ketua panitia Peringatan Satu Abad Bung Hatta, Senin (10/8).

Dia menegaskan, pemikiran ekonomi Bung Hatta masih sangat relevan untuk terus diperjuangkan demi kedaulatan ekonomi Tanah Air. Bila tak mampu dijalankan pemerintahan kini, generasi muda diharapkan mampu meneruskannya. Sebab, umur seorang manusia boleh saja dibatasi kematian. Namun, gagasan serta semangat kemerdekaan yang dipelopori Bung Hatta janganlah berhenti atau diabaikan begitu saja.

Pada 14 Maret 1980, Indonesia menangis. Bung Hatta tutup usia dan, sesuai wasiatnya, jasadnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Rupanya, hingga akhir hayatnya Bung Hatta enggan dipisahkan dari rakyat yang dicintainya. Mavis Rose menyebutkan, ribuan orang datang berduyun-duyun menghadiri pemakaman. Dituliskannya, seorang rakyat biasa yang melayat berujar, "Kejujuran Bung Hattalah yang mendorong saya untuk datang." ***

INFOGRAFIS BUNG HATTA

Perjalanan dan Kiprah Bung Hatta

*12 Agustus 1902
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi.
*1913
Menamatkan pendidikan ELS Padang.
*1916
Hatta memulai aktivitas politiknya saat terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah Padang.
*1917
Menamatkan pendidikannya di MULO Padang.
*1919
Hatta melanjutkan, pendidikannya di Jakarta untuk belajar di HBS.
*1921
Hatta ke Belanda untuk kuliah di bidang ekonomi dan tinggal di sana selama 11 tahun.
*1923
Hatta menjadi bendahara organisasi Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
*1924
Organisasi Indonesia Merdeka berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
*1926
- Hatta menjadi pimpinan PI.
- Di bawah kepemimpinannya, PI banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia.
*25 September 1927
- Hatta ditangkap oleh Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang.
- Hatta kemudian dihukum penjara tiga tahun di Rotterdam.

*1928
Hatta menolak tuduhan Belanda dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" pada sidang di pengadilan.
*1931
- Hatta mundur dari PI untuk mengikuti ujian sarjana.
- Akibat kemundurannya, PI jatuh ke tangan komunis.
- Pengikut Hatta membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang di kemudian hari bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
*1932
- Hatta kembali ke Tanah Air.
- Di Tanah Air, Hatta ditawarkan menjadi anggota parlemen Belanda. Tetapi, Hatta menolak.
*1934
- Hatta dan Sutan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Boven Diegul dan Banda Neira.
- Selama masa pembuangan, Hatta banyak menulis artikel perjuangan di media-media Jakarta.
*1942
- Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi.
- Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
*1945
- Awal Agustus, Sukarno dan Hatta diangkat menjadi ketua dan wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
- 17 Agustus di Jakarta kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta.
- 18 Agustus Sukarno dan Hatta diangkat menjadi presiden dan wakil presiden RI.

*1947
Hatta ke India untuk membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB.
*1949
Pada 27 desembar 1949 Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

*1956
- Hatta mengundurkan diri menjadi wakil presiden karena perbedaan pandangan dengan Sukarno.
- Setelah tak menjabat, kegiatan Hatta adalah menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar.
*1971
- Hatta diangkat menjadi penasihat presiden Soeharto dalam masalah pemberantasan korupsi.
*14 Maret 1980
Hatta wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah 11 hari ia dirawat di sana.

Sumber: Pusat Data Republika

Sumber:republika.co.id
Kategori:Bukittinggi, Umum
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77