Kata Agus Rahardjo, 9 Poin dalam RUU Inisiatif DPR Bakal Lumpuhkan KPK, Ini Rinciannya

Kata Agus Rahardjo, 9 Poin dalam RUU Inisiatif DPR Bakal Lumpuhkan KPK, Ini Rinciannya
Ketua KPK Agus Rahardjo. (int)
Kamis, 05 September 2019 21:26 WIB
JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menuding DPR bermaksud melumpuhkan KPK melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang kini telah menjadi RUU inisiatif DPR.

Dikutip dari beritasatu.com, Agus mengungkapkan ada sembilan poin dalam draf revisi UU tersebut yang bakal melumpuhkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dijelaskan Agus, poin-poin itu antara lain: terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, dan penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Poin lainnya yang dinilai akan melumpuhkan kerja KPK adalah: tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan, serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.

''Sembilan persoalan di draf RUU KPK berisiko melumpuhkan Kerja KPK,'' kata Agus dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Berikut penjabaran sembilan poin di draf revisi UU Nomor 30/2002 yang dinilai bakal melumpuhkan lembaga antikorupsi:

1. Independensi KPK terancam

• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

• KPK dijadikan lembaga pemerintah Pusat.

• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya.

• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK.

• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup, sehingga bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi.

• Penyadapan diberikan batas waktu tiga bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang.

• Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan.

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas.

• Dewan Pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.

• Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.

• Selama ini proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber.

5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung

• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan korupsi.

• Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.

7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan.

• KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan

• Pelarangan ke luar negeri.

• Meminta keterangan perbankan.

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi.

• Meminta bantuan Polri dan Interpol.

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara.

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi.

• Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi.***

Editor:hasan b
Sumber:beritasatu.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/