Arab Saudi dan Negara Teluk Dukung Kebijakan China 'Penjarakan' 1,5 Juta Muslim Uighur dan Dilarang Shalat

Arab Saudi dan Negara Teluk Dukung Kebijakan China Penjarakan 1,5 Juta Muslim Uighur dan Dilarang Shalat
Anak-anak Muslim Uighur. (republika.co.id)
Rabu, 17 Juli 2019 10:37 WIB
JENEWA - Duta besar (Dubes) 37 negara, termasuk Dubes Arab Saudi dan negara-negara Teluk, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan surat tandingan atas kecaman terhadap perlakuan pemerintah Republik Rakyat China (RRC) kepada Muslim Uighur.

Surat tersebut dikirimkan untuk Dewan HAM PBB dan Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet pada Jumat (12/7). Isinya, sebanyak 37 negara itu mendukung posisi Cina di Xinjiang dan kebijakan yang mereka lakukan di sana.

''RRC telah mengundang sejumlah dipomat, organisasi internasional, dan wartawan ke Xinjiang untuk menyaksikan kemajuan hak asasi manusia dan hasil dari kontraterorisme serta deradikalisasi,'' tertulis dalam surat yang diperlihatkan ke publik pada Senin (15/7) itu.

Selain Saudi dan Rusia, surat yang berhasil dilihat Reuters itu turut ditandatangani oleh duta besar dari Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain dan sejumlah negara Afrika.

''Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, Cina telah melakukan serangkaian tindakan antiterorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan,'' tertulis dalam surat itu.

Dalam surat itu dikatakan bahwa keamanan telah kembali ke Xinjiang. HAM orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi. Surat tersebut turut menjelaskan bahwa tidak ada serangan teror yang terjadi di Xinjiang selama tiga tahun terakhir dan masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.

Sejumlah media dan LSM di Amerika dan Eropa sebelumnya melaporkan, sedikinya 1,5 juta etnis Uighur dimasukkan dalam pusat-pusat reedukasi. Di lokasi itu, mereka didoktrin, tak boleh menjalankan ajaran agama, dipaksa makan-makanan haram, serta mengalami penyiksaan.

Media-media barat juga melaporkan terjadi penghancuran masjid-masjid bersejarah, pemisahan orang tua dari anak-anak mereka yang dimasukkan dalam institusi khusus, pengawasan dengan teknologi canggih, serta kerja paksa terhadap penghuni kamp reedukasi. RRC selalu berdalih bahwa kamp-kamp tersebut adalah pusat vokasi untuk memberikan keahlian bagi etnis Uighur sekaligus pusat deradikalisasi.

Republika sempat diundang dalam kunjungan yang disinggung diplomat 37 negara dalam surat teranyar pada Maret lalu. Kunjungan tersebut ditata sedemikian rupa, mulai dari kunjungan ke museum terorisme, pasar utama di Xinjiang yang dipenuhi tarian dan nyanyian, kemudian ke kamp-kamp reedukasi. Kunjungan dikawal ketat petugas RRC dan wawancara tak bebas dilakukan.

Kendati demikian, Republika berhasil mendapatkan kesaksian soal penghuni kamp vokasi yang ''dididik'' hanya karena menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Para peserta didik juga dilarang melaksanakan shalat di kamp vokasi dan hanya bisa beribadah saat dipulangkan sepekan sekali. Sejumlah mushala di Xinjiang juga tampak ditutupi dan dipagari garis polisi hingga tak bisa digunakan beribadah dengan leluasa.

Surat dari 37 negara menambahkan, sejak tiga tahun terakhir tidak ada serangan teror di Xinjiang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang menyambut baik surat tersebut. ''Kami meminta negara-negara terkait untuk menahan diri dari melayangkan tudingan tak berdasar sebelum mengunjungi Xinjinag,'' kata dia dalam konferensi pers kemarin.

Ia menekankan, tantangan terorisme dan ekstremisme di Xinjinag memerlukan pendirian pusat-pusat vokasi tersebut. Geng juga mengingatkan, sejak pusat-pusat reedukasi itu berdiri, sepanjang tiga tahun belakangan tak ada serangan terorisme di Xinjiang.

Surat terkini yang dikirimkan ke Dewan HAM PBB membelah negara-negara di dunia terkait sikap mereka terhadap RRC untuk persoalan Xinjinag. Sebelumnya, surat kecaman yang meminta RRC membebaskan para ''tahanan'' di pusat reedukasi di Xinjiang ditandatangani oleh duta besar dari Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Jepang, Latvia, Lituania, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Kerajaan Inggris.

Sementara, daftar lengkap negara-negara yang menandatangani surat dukungan untuk RRC adalah Aljazair, Angola, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Kepulauan Komoro, Pakistan, Kuba, Republik Demokrat Kongo, Mesir, Eritrea, Gabon, Kuwait, Laos, Myanmar, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Tajikistan, Togo, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Zimbabwe.

Sejumlah negara tak ada dalam daftar di kedua surat berbalas tersebut. Di antaranya Amerika Serikat yang sedianya tergolong keras mengecam kondisi di Xinjiang. Gedung Putih belakangan memang tengah menerapkan kebijakan tangan besi terhadap imigran di AS.

Selain itu, negara-negara Eropa Timur juga enggan mengambil sisi kecuali Estonia, Latvia, dan Lituania yang ikut gerbong pengkritisi RRC. Dari Asia tengah, kawasan yang secara geografis paling dekat dengan Xinjiang, Kazakhstan, Kirgistan, dan Uzbekistan tak mengambil sisi. Padahal, etnis Kazakh dan Kirgis termasuk di antara yang dimasukkan dalam kamp-kamp reedukasi selain etnis Uighur. Sementara, dari wilayah itu, Tajikistan dan Turkmenistan mendukung RRC.

Negara-negara yang juga belum mengambil sisi dalam adu surat di Dewan HAM PBB adalah Malaysia, India, Indonesia, dan Bangladesh. Masing-masing negara meliputi mayoritas umat Islam di dunia. Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak, kemudian India memiliki jumlah Muslim terbanyak urutan ketiga, dan Bangladesh di posisi keempat. Sri Lanka dan Maladewa yang belakangan diberitakan sangat bergantung pada bantuan ekonomi RRC juga sejauh ini masih bersikap netral.

Kementerian Luar Negeri RI sejauh ini belum memberikan keterangan soal posisi terkini Indonesia. Kendati demikian, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib sebelumnya mengatakan, Indonesia sudah menyampaikan sikap mengenai Uighur melalui hubungan bilateral.

''Sudah beberapa kali Menlu, yang berkaitan tentang Uighur ini, kami masukkan ke dalam kerangka kerja hubungan bilateral,'' kata Achsanul, pekan lalu.***

Editor:hasan b
Sumber:republika.co.id
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/