Kisah Ironis Idjon Djanbi, Tentara Belanda Mualaf yang Jadi Komandan Pertama Kopassus Dimakamkan di TPU Tanpa Upacara Militer

Kisah Ironis Idjon Djanbi, Tentara Belanda Mualaf yang Jadi Komandan Pertama Kopassus Dimakamkan di TPU Tanpa Upacara Militer
Idjon Djanbi. (tribunnews.com)
Selasa, 17 April 2018 09:02 WIB
JAKARTA Kopassus (Komando Pasukan Khusus) merupakan pasukan elit terbaik Indonesia. Kehebatan anggota Kopassus bahkan dikenal dan diakui dunia.

Namun dipastikan tidak banyak yang tahu, bahwa komandan pertama pasukan baret merah ini merupakan orang Belanda non Muslim yang kemudian memutuskan mualaf dan menjadi warga negara Indonesia (WNI). Namanya Idjon Djanbi.

Dikutip dari tribunnews.com, nama Idjon Djanbi dianggap 'keranat' bagai anggota baret merah. Sebab, dialah yang pertama kali mengasah mental dan fisik anggota TNI AD terpilih untuk kemudian dilatih menjadi prajurit tangguh berkualifikasi komando. Sayang, tak banyak yang tahu soal masa lalunya, bahkan prajurit Kopassus sendiri.

Nama aslinya adalah Rokus Barendregt Visser. Dia lahir di Boskoop, sebuah kota kecil di Selatan Belanda, 13 Mei 1914. Ia berasal dari lingkungan keluarga petani bunga.

Berbagai hobi menantang dilakoninya, dari mendayung perahu kayu, balapan mobil, bermain sepakbola, berkuda bola (polo) bahkan mendaki gunung.

Kegiatan ini kerap kali membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya. Meski demikian, ia dikenal cerdas. Prestasi akademis di sekolahnya lumayan baik.

Beberapa gunung di Eropa telah ia daki, antara lain Gunung Snowdon dan Ben Nervis (Inggris), Mont Blanc (Swiss), beberapa gunung di Jerman Selatan.

Gunung-gunung di Indonesia pun tak luput dari perhatiannya, seperti Lawu, Merapi, dan Bromo.

Lingkungan keluarga petani membentuk minatnya pada bidang agraria. Ia menjadi pengusaha ekspor impor bidang agraria dan holtikultura (tanaman hias) tahun 1935-1940.

Tak Bisa Pulang

Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939, membuat Visser tidak bisa pulang ke Belanda, karena telah dikuasai Jerman. Di usia 25 tahun ia terpanggil masuk dunia militer untuk membela Belanda. Tahun 1940 ia masuk dinas militer sukarela Tentara Sekutu yang berperang melawan Jerman.

Tugas pertamanya sebagai tentara adalah menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Selang setahun berdinas, ia mengundurkan diri. Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop).

September 1944, ia merasakan operasi tempurnya yang pertama bersama pasukan Sekutu dalam Operasi Market Garden. Pasukan tempat Visser bertugas termasuk ke dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat.

Ia dan pasukannya diterjunkan melalui pesawat layang, lalu mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman.

Dua bulan kemudian saat pasukan dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk operasi pendaratan amfibi di Walcheren, kawasan pantai di bagian selatan Belanda.

Pendidikan komando ditempuhnya di Commando Basic Training di Achnacarry di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.

Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang brevet Glider (baret hijau).

Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api.

Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.

Selain itu, Visser juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II.

Plus juga menjalani pendidikan spesialisasi Bren, pertempuran hutan, dan belajar bahasa Jepang.

Visser kemudian mengikuti Sekolah Perwira karena dianggap berprestasi. Lalu ia bergabung dengan Koninklij Leger untuk memukul Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirim.

Hidup di Indonesia

Kekalahan militer membuat Jepang hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai.

Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia. Saat itu, Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia.

Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Simon Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.

Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946. 

Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat. Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak.

Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.

Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa.

Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya. Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai.

Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia. Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Bandung.

Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala. Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak peterjun militer. Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil.

Meskipun keputusan ini mengandung risiko tinggi karena saat itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia.

Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya ini.

Namun ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung. Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya dimulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang perempuan Sunda. Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.

Cetak Pasukan Komando

Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).

Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor. Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga.

Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.

Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat.

Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando. 

Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat.

Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando. Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi.

Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon Djanbi.

Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665.

Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.

Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus.

Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi. Inilah tanggal yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.

Satu tahun kemudian satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).

Tanggal 14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD).

Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.

Tanpa Upacara Militer

Barangkali, inilah mengapa di setiap prajurit Kopassus tertanam sikap tak berharap penghargaan dari negara meski nyawa jadi taruhannya. Karena begitulah akhir hidup Idjon Djanbi di Indonesia.

Meski jadi komandan pertama Si Baret Merah, tapi Djanbi disebut tak mendapat penghargaan yang layak.

Pada 1965, TNI AD berkeinginan agar RPKAD dipimpin orang Indonesia tulen. Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat). Namun Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1967. 

Dia akhirnya diberi penghargaan, berupa jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi. Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.

Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta. Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih. Hasil diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi.

Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.

Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Dia tidak dimakamkan di makam pahlawan. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU (temat pemakaman umum) Yogyakarta.

Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta tahun 1977 pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya.

Sebagai komandan pertama Kopassus, Idjon Djanbi dimakamkan tanpa tembakan salvo.

Sesuatu yang ironis. Idjon Djanbi dikebumikan tanpa tembakan salvo penghormatan.

Padahal, sejarah mencatat namanya sebagai Bapak Kopassus Indonesia. Dia sangat berjasa mencetak pasukan komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus.***

Editor:hasan b
Sumber:tribunnews.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/