Panglima Besar Jenderal Soedirman Selalu Jaga Wudhu Saat Gerilya, HNW: Keliru Besar Tuduh Islam Anti NKRI

Panglima Besar Jenderal Soedirman Selalu Jaga Wudhu Saat Gerilya, HNW: Keliru Besar Tuduh Islam Anti NKRI
Panglima Besar Jenderal Soedirman. (suaramuslim)
Senin, 21 Agustus 2017 08:12 WIB
LAMPUNG - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengingatkan pihak-pihak yang menuduh umat Islam Indonesia anti NKRI. Ditegaskannya, NKRI ini lahir justru karena perjuangan umat Islam.

Hidayat menilai ada pihak yang mencoba memutarbalikkan sejarah, dengan menuduh umat Islam anti NKRI. Padahal, Islam dan Indonesia tak pernah berpisah. Karena itu, kata Hidayat, keliru besar pihak-pihak yang tuduh umat Islam anti NKRI.

Umat Islam dan tokoh-tokoh Islam telah berkorban demi keutuhan bangsa Indonesia. Nama-nama besar seperti Mohammad Natsir, Hasyim Asy'ari dan Panglima Besar Jenderal Soedirman hanya sebagian kecil tokoh Islam yang gagah berani berjuang demi bangsa dan negara Indonesia.

Natsir dikenal salah satunya karena Mosi Integral Natsir, mengembalikan NKRI ke pangkuan Ibu Pertiwi. KH Hasyim Asy'ari dikenal sebagai pelopor revolusi jihad sehingga menimbulkan keberanian di kalangan santri. Sedangkan Panglima Besar Soedirman adalah sosok yang pantang menyerah. Meski hampir seluruh kawasan dan semua pimpinan nasional dipenjarakan kolonialis, Soedirman yang menderita sakit paru-paru akut memilih melakukan perlawanan gerilya.

Hidayat mengatakan, meski ditandu, Jenderal Soedirman berhasil mengalahkan klaim Belanda, bahwa mereka telah menguasai NKRI. Dengan perlawanannya, Soedirman berhasil meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia masih ada. 

''Ada tiga rahasia mengapa Soedirman tak bisa ditangkap oleh Belanda selama menjalankan perang gerilya. Pertama tak pernah putus wudhu, lalu selalu shalat tepat waktu, dan berbakti pada orang tua,'' kata Hidayat saat memberikan sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Bandar Lampung, Ahad (20/8).

Rahasia sukses gerilya Jenderal Soedirman ini, kata Hidayat, sempat disampaikan pengawalnya yaitu Soeparjo Rustam dan dibenarkan oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo.

Guru HIS Muhammadiyah

Seperti dimuat di biografiku.com, Soedirman dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ia memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat.

Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI).

Ia merupakan pahlawan pembela kemerdekaan yang tidak peduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.

Perang Gerilya

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Namun, ia tetap ingin memimpin perang. Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada.

Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.***

Editor:hasan basril
Sumber:republika.co.id dan suaramuslim.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77