MK: Pejabat yang Merasa Dihina Harus Melapor Sendiri ke Polisi

MK: Pejabat yang Merasa Dihina Harus Melapor Sendiri ke Polisi
Kamis, 10 Desember 2015 19:18 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Agus Slamet dan Komar Raenudin yang menggugat Pasal 319 UU KUHP tentang Pasal Penghinaan ke pejabat. MK memutuskan jika pejabat merasa terhina, ia harus melaporkan sendiri kasus tersebut ke polisi.

Kasus berawal saat Agus dan Komar dilaporkan ke Polda Jawa Tengah mengunggah gambar Wali Kota Tegal, Siti Masitha Soeparno di Facebook pada bulan April hingga Juli 2014. Atas postingan tersebut, pihak Siti merasa dicemarkan nama baiknya sehingga melapor ke Polda Jateng.

Berdasarkan laporan ini, Polda Jateng mengeluarkan sprindik tertanggal 2 September. Di dalamnya dituliskan yang merasa dicemarkan nama baiknya adalah Siti Mashita Soeparno dan Suprianto. Namun yang menandatangani laporan adalah Amir Mirza selaku pelapor.

Atas laporan itu, Agus dan Komar lalu dihukum 5 bulan penjara dan dipidana dengan Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Merasa tidak diperlakukan dengan adil, keduanya menggugat KUHP ke MK.

"Mengabulkan permohonan para pemohon. Menyatakan Pasal 319 KUHP sepanjang frasa 'kecuali berdasarkan Pasal 316' bertentangan dengan UUD 1945. Menyatakan Pasal 139 KUHP sepanjang frasa 'kecuali berdasar Pasal 316' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar hakim konstitusi Anwar Usman di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Kamis (10/9/2015).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai sudah saatnya Pasal 319 KUHP untuk ditinjau ulang. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dan perkembangan nilai nilai dalam masyarakat.

"Ketentuan mengenai pengaduan terhadap penghinaan demikian juga harus disikapi berbeda mengingat kompleksitas perkembangan pengetahuan, kecerdasan, sikap kritis, bahkan harus mengingat pula kemungkinan adanya sifat manipulatif, niat buruk dan lai sebagainya," kata hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan.

"Dengan kata lain, menurut mahkamah dalan membaca ketentuan Pasal 316 KUHP secara kekinian, harus disikapi pula motif dan perbedaan posisi warga negara secara sosial, ekonomi maupun politik," sambung Suhartoyo.

Majelis juga mengatakan, perkembangan teknologi membawa dampak besar bagi keberadaan delik penghinaan, setidaknya dalam beberapa hal.

"Yang pertama, penghinaan menjadi lebih mudah dan akibatnya lebih sering dilakukan terutama di media sosial. Di sisi lain, menjadikan lebih mudah pula pelaporan dan atau pengaduan oleh korban penghinaan. Teknologi telah memudahkan pegawai negeri atau pejabat negara untuk mengajukan penghinaan yang dialaminya menghilangkan relevansi dan pelaporan sendiri atas penghinaan yang dialaminya," kata Suhartoyo.

Dalam pokok permohonan, keduanya menilai Pasal 319 KUHP dapat dipandang sama dengan kejahatan penghinaan terhadap Presiden dan Wapres. Pasal tersebut juga dianggap tidak relevan setelah MK memutus Pasal 207 KUHP agar penuntutan hanya dilakukan atas adanya delik aduan.

Aparat penegak hukum juga baru dapat memproses apabila ada aduan dari penguasa. MK mengatakan ketentuan tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena tergantung pada tafsir apakah pernyataan pendapat merupakan kritik atau penghinaan, yang dianggap dapat menghambat kebebasan menyatakan pendapat.***

Editor:sanbas
Sumber:detik.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/