Demi Penghematan, BJ Habibie Tinggal Jauh dari Pusat Kota dan Jalan Kaki ke Kampus Saat Kuliah di Jerman

Demi Penghematan, BJ Habibie Tinggal Jauh dari Pusat Kota dan Jalan Kaki ke Kampus Saat Kuliah di Jerman
BJ Habibie. (republika.co.id)
Rabu, 11 September 2019 19:41 WIB
JAKARTA - Rakyat Indonesia berduka. Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Rabu (11/9) sore. Jauh sebelum menjadi presiden, Habibie telah mengharumkan nama Indonesia di dunia.

Dikutip dari republika.co.id, BJ Habibie lahir di Parepare pada 25 Juni 1936, Habibie berhasil mengharumkan nama Indonesia dari Jerman. Ia menemukan teori yang menjadi solusi mengatasi keretakan pada sayap pesawat terbang. Kini, teori yang dinamai Theory of Habibie itu digunakan semua industri pesawat terbang di seluruh dunia.

Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia merupakan putra dari  pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dari Parepare dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo yang berdarah Jawa.

Rudy, nama panggilan Habibie oleh orang tuanya, adalah bayi kecil yang selalu menangis. Orangtuanya pun sempat kebingungan kenapa Rudy kecil menangis lebih sering dibandingkan bayi seumuranya.

Gina S Noer dalam ''Rudy:Kisah Muda Sang Visoner'' menulis, solusi atas tangisan bayi yang kelak menjadi ilmuan besar Indonesia itu adalah memutarkan musik klasik. Piringan hitam menjadi pilihan sang ayah karena tak bisa sepanjang hari menghentikan tangisan Rudy dengan melantunkan ayat suci Alquran.

Waktu berlalu, usia Rudy bertambah. Ia kini mulai bisa berbicara. Meski tak lagi menangis, Rudy membuat orang tuanya kewalahan dengan sederet pertanyaannya. Ia selalu ingin tau banyak hal. "Makin lancar Rudy berbicara, makin banyak pula pertanyaan yang ia ajukan," tulis Gina.

Masalahnya kembali sama, sang Ayah tak bisa menjawab semua pertanyaan Habibie kecil setiap saat, sebab ia juga harus pergi bekerja sebagai Kepala Dinas Pertanian saat itu. Akhirnya, kedua orang tuanya memberikan buku sebagai tempat bertanya Rudy. Ia pun akrab dengan buku, bahkan di usia empat tahun, sosok yang kelak menjadi Presiden Ke-3 Indonesia ini, sudah bisa membaca dengan lancar.

Menginjak usia 14 tahun, Rudy tak lagi bisa banyak berdikusi dengan ayahnya ketika buku tak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanya. Sang ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Ibu Habibie memutuskan untuk menjual rumah mereka di Parepare lalu pindah ke Bandung.

Di kota kembang itulah Habibie remaja menempuh pendidikan di SMAK Dago. Pelajaran favoritnya adalah fisika. Selanjutnya, pada tahun 1954, ia melanjutkan studi ke Jurusan Tenik Mesin Universitas Indonesia Bandung atau sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hanya enam bulan di ITB, Habibie memilih untuk melanjutkan studi ke Jerman. Ia berkuliah di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH) dengan jurusan Teknik Penerbangan.

Gelar Doktor dan Menikahi Ainun

Habibie melanjutkan studinya di Jerman tanpa beasiswa. Ia mengandalkan sepenuhnya dukungan finansial dari sang ibu yang punya usaha katering dan kos-kosan. 

  Demi menghemat pengeluaran, Habibie meimilih untuk tinggal jauh dari pusat kota Aachen di mana kampusnya berada. Ia pun berjalan kaki setiap hari menuju kampus yang merupakan salah satu universitas terkemuka dalam bidang teknik di Jerman itu. 

  Pengorbanannya tak sia-sia, lima tahun setelah itu, ia lulus sebagai diploma teknik Jerman bidang desain dan konstruksi pesawat terbang. Gelar tersebut setara dengan gelar Master (S2) di negara lain.

  Tak lama setelah lulus dari jenjang S2, Habibie menikahi teman SMA nya Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Pada masa itu Ainun memiliki gelar dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta. Rasa cinta dan pengabdiannya yang besar membuat Ainun rela meninggalkan pekerjaannya demi mengikuti suami untuk hijrah membangun karir dan impian di Jerman.

  ''Ibu Ainun bukan hanya seorang istri atau pendamping yang setia. Tetapi, lebih dari pada itu, Ibu sudah menyatu dengan saya,'' kata B.J Habibie kepada mantan pimred Republika, A Makmur Makka, sebagaimana dimuat di Harian Republika edisi 29 Mei 2010.

  Dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra. Yakni Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.

  Menikah dan tinggal bersama di Ainun di Jerman, Habibie awalnya bekerja sebagai asisten profesor hingga akhirnya medapatkan beasiswa S3. Tahun 1964, Habibie berhasil meraih gelar doktornya pada usia 28 tahun dengan predikat summa cum laude atau dengan kehormatan tertinggi.

  Selanjutnya Habibie berkarir di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di sini ia menciptakan sejumlah teori penting bagi dunia penerbangan. Salah satunya, Theory of Habibie atau Teori Crack Propagation, yakni sebuah teori yang menjadi solusi atas masalah retakan sayap pesawat akibat guncangan saat take off dan landing.

Melejitnya karir Habibie di Jerman, ia pun diminta Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia. Ia kemudia menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi hingga puncak karir politiknya sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia.

  Kini tokoh bangsa itu sedang terbaring di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Sejak Senin (8/9) lalu, Habibie dirawat intensif di sana. 

  Asisten pribadi Habibie, Rubijianto pada Ahad (8/9), meminta seluruh rakyat Indonesia mendoakan kesembuhan untuk tokoh bangsa yang kini berusia 83 tahun itu. Sehingga ia bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.***

Editor:hasan b
Sumber:republika.co.id
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/