Pengamat dari Australia Sebut Polisi Masih Sasaran Utama Teroris

Pengamat dari Australia Sebut Polisi Masih Sasaran Utama Teroris
Sabtu, 19 Mei 2018 04:52 WIB
JAKARTA - Aksi teror bom di Surabaya telah membuat masyarakat terguncang. Sebab, dalam peristiwa itu muncul banyak korban. Tak hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak.

Greg Fealy, pengamat politik dan Islam Indonesia dari Australian National University (ANU) di Canberra, mengatakan bahwa polisi merupakan salah satu musuh utama teroris. Greg juga mengatakan bahwa serangan bom ke gereja di Indonesia sebetulnya tidaklah banyak terjadi.

"Polisi masih menjadi musuh utama atau target para jihadis," ujar Greg yang juga Kepala Departemen Perubahan Politik dan Sosial di ANU sebagaimana dikutip dari AustraliaPlus.

Meski begitu, tempat ibadah dan warga asing kemungkinan besar juga menjadi sasaran para teroris.

Greg menanggapi soal pernyataan polisi yang mengatakan keluarga pelaku bom Surabaya belum pernah ke Suriah.

Jika pelaku belum pernah ke Suriah, berarti ada oknum yang mengajari mereka.

"Tapi yang terpenting lagi ini menunjukkan banyaknya elemen yang butuh perhatian lebih, seperti siapa yang melatih dan mengajarkan mereka, terutama pada sang ayah, Dita untuk membuat bom yang cukup canggih dan menjadi yang terbesar sejak 2009," ucap Greg.

Greg berpendapat bahwa pejuang yang telah pergi ke Suriah dan kembali ke Indonesia memiliki kemampuan dalam membuat bom atau bahkan melakukan serangan.

Gerak-gerik mereka setelah kembali ke Tanah Air sangat penting untuk diawasi

Mereka yang pernah ke Suriah dan Irak juga memiliki suatu kemampuan karena telah bertempur di medan perang dan dianggap sebagai selebritis oleh komunitas teroris yang mengusung jihad.

"Masalah utama bagi para jihadis pro ISIS di Indonesia adalah tidak memiliki kemampuan, jadi butuh beberapa orang yang bisa berbagi keahlian untuk dapat meningkatkan ancaman teroris," ucap Greg.

"Dita menjadi contoh ini dan polisi tak memiliki informasi banyak soal dirinya. Tapi jika Dita mendapatkan pengetahuannya secara online, ini pun akan menjadi hal yang baru," imbuhnya.

Saat ditanya soal radikal dan toleransi di Indonesia, Greg berpendapat bahwa meningkatnya radikal Islam sedikit berlebihan.

"Bisa dikatakan berlebihan jika dikatakan adalah sebuah grup yang ingin menegakkan syariah atau mengubah Indonesia jadi negara Islam, karena politik Islam di Indonesia tidaklah efektif, meski media melaporkannya seolah sudah terjadi," ucapnya.

Menurutnya bibit radikal sebenarnya bisa dihentikan jika ada saluran politik yang sehat.

"Semakin banyak kita melibatkan orang-orang dengan berbagai pandangan ke dalam sistem politik untuk menyampaikan suara serta memberikan kesempatan, maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk melakukan aksi radikal."

Menurutnya kondisi di Indonesia sekarang lebih memungkinkan untuk membuat semua kalangan terlibat politik yang sehat.

"Tapi ada sebagian kecil yang juga menolak apa yang disebut demokrasi dan ingin menggantinya dengan sistem lain."

"Seberapapun pluralisnya sebuah negara, tetap akan selalu ada sejumlah kecil yang menolak pandangan ini."

Greg juga menyampaikan dari data terbaru pengamatannya yang menunjukkan toleransi di Indonesia secara umum telah meningkat kurang dari 10 tahun terakhir. Tapi ia mengakui kalau intoleransi justru juga meningkat.

Seperti di kalangan Muslim kelas menengah di kota-kota besar, yang menurutnya memiliki peran untuk menyingkirkan Ahok dari dunia politik. "Data ini kompleks, karena tidak menunjukkan satu arah saja, tapi ada tren berbeda pada sejumlah kelompok warga."

"Secara keseluruhan warga Indonesia lebih toleransi saat ini dibandingkan 10 tahun," tambahnya.

Ia mengatakan banyak ditemui komentar di jejaring sosial, seperti di Facebook atau Instagram yang berbau intoleran, tapi ia setuju jika apa yang terjadi di dunia maya, tidak mewakili keadaan sebenarnya. ***

Editor:Hermanto Ansam
Sumber:bangkapos.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/