Raibnya Halaman Lagu ''Indonesia Raja'' pada Koran Sin Po Edisi Saptoe 10 November 1928

Raibnya Halaman Lagu Indonesia Raja pada Koran Sin Po Edisi Saptoe 10 November 1928
Koran Sin Po. (merdeka.com)
Senin, 30 Oktober 2017 09:07 WIB
JAKARTA - Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya, Jakarta Timur, merupakan salah satu tempat yang 'wajib' didatangi bila ingin memperoleh arsip-arsip lama, termasuk arsip surat kabar yang terbit di masa Kolonial Belanda. Berikut ini cerita upaya wartawan merdeka.com mencari arsip koran Sin Po edisi 10 November 1928.

Kami masuk dan naik ke lantai 8 gedung itu. Menggunakan lift. Lalu ke arah kanan dan masuk ke dalam lorong. Suasananya tampak tak terurus. Berantakan. Wajar saja, sebab mereka sedang berbenah. Sekaligus pindah dari Jalan Salemba Raya menuju gedung baru di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.

Hingga tiba di sebuah ruangan. Dijaga seorang petugas perempuan bernama Endang. Lalu mengisi data diri. Juga ditanya tujuan kedatangan. Pada Rabu pekan lalu itu, kami tengah mencari arsip koran masa pra kemerdekaan. Tepatnya ketika Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 silam. Dalam kongres itu pula lahir Sumpah Pemuda dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Koran Sin Po. Itulah arsip tengah dicari ketika menyambangi Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya. Sebuah media massa cetak milik keturunan Tionghoa. Sebab, dalam sejarahnya dianggap memiliki peran penting. Terutama dalam menyebarkan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Atau akrab disebut WR Supratman.

Kami lantas diantar Endang. Menuju sebuah ruangan arsip media cetak langka. Di dalam ruangan itu berisi beberapa rak. Aroma kertas lawas begitu menyengat. Rata-rata warna kertas sudah berubah cokelat. Tulisannya masih jelas terlihat. Tapi kondisi kertasnya sudah rapuh. Rawan sobek. Koleksi di sana bisa dibilang lengkap.

Endang pun menunjukkan koleksi tengah kami cari. Dia membawa bundel map. Berisi koleksi koran Sin Po edisi September-Desember 1928 silam. ''Silakan dilihat dan hati-hati membukanya ya, karena kertasnya sudah pada rapuh dan gampang sobek,'' pesan Endang kepada kami.

Koleksi itu dibungkus dengan stopmap warna merah. Berukuran besar serta diikat dengan tali di kedua sisinya. Sebelum melihat, kita harus membuka ikatan tali tersebut. Hati-hati ketika membuka. Seba kertas sudah mulai rapuh. Benar saja, saat dibuka kondisi kertas koran sudah tidak tertata rapih, berwarna cokelat dan mudah sobek.

Membuka arsip secara perlahan. Satu per satu. Kami harus sabar agar tak menambah parah. Melihat banyak edisi koran di masa jelang Sumpah Pemuda hingga sesudahnya. Sedangkan edisi tengah kami cari adalah tanggal 10 November 1928. Merupakan edisi spesial. Di mana saat itu lirik dan partitur asli lagu Indonesia Raya pertama kali dicetak dan disebarkan koran Sin Po. Sekaligus hadiah bagi jurnalis mereka, WR Supratman. Selain musisi muda, dia juga bekerja sebagai pewarta.

Isi koran Sin Po era itu sama seperti zaman sekarang. Tulisan diberi ruang pada kolom sudah ditentukan. Namun berbeda dalam penggunaan bahasa. Mereka masih memakai Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia ejaan tempo dulu. Tidak hanya berita. Ada pula iklan dan ucapan selamat untuk seseorang.

Karena begitu besar peranan para orang Tionghoa dalam pengembangan bahasa Melayu, bahasa ini akhirnya disebut sebagai Melayu-Tionghoa. Pada awal abad XIX, sekaligus menandai mulainya bermunculan sejumlah penerbitan pers berbahasa Melayu Tionghoa. Bukan hanya Sin Po. Selain itu ada pula Keng Po, dan Perniagaan atau Siang Po di Batavia.

Halaman demi halaman dibuka. Isi berita koran Sin Po beragam. Mulai dari hukum, politik, olahraga, dan ekonomi.Kami mencari edisi terbitan 89 tahun silam. Edisi itu pun masih ada. Sayangnya, tidak lengkap. Terutama untuk cetakan lagu Indonesia Raya. Kami bahkan mencarinya berulang-ulang. Hasilnya tetap nihil. Edisi pada tanggal tersebut hanya tersisa satu lembar. Itu terlihat jelas pada tulisan pojok kiri atas bertuliskan, ''Saptoe 10 November 1928''.

Endang mengakui kehilangan lembaran cetak karena vandalisme orang tak bertanggung jawab. ''Ada saja tangan yang jahil, vandalisme, perbuatan yang tidak diperkenankan, padahal dengan jelas tidak boleh merusak fisik koran tersebut. Kalau mau, silakan difotokopi oleh petugas kami,'' ujar Endang kepada kami.

Sedangkan pada edisi tanggal 27, 28 dan 29 Oktober 1928, atau ketika Kongres Pemuda II dilaksanakan, hanya tersisa beberapa halaman. Dari sisa halaman itu tidak ada berita terkait acara lahirnya Sumpah Pemuda tersebut. Ada dugaan ini juga ulah orang jahil. Tetapi bisa juga rusak karena kertas sudah rapuh.

Harus diakui Endang bahwa tidak ada perawatan khusus terhadap koleksi koran langka di Perpustakaan Nasional. Tugasnya selama bekerja hanya mengingatkan para pengunjung untuk hati-hati melihat koleksi. Para pengunjung juga boleh memiliki. Bukan lembar asli. Para petugas menyarankan untuk difotokopi.

''Harus ekstra hati-hati jika ingin melihat koleksi itu,'' pesan dia.

Sin Po pertama kali terbit secara mingguan. Dimulai pada 1 Oktober 1910. Koran ini saat itu dianggap memiliki pandangan politik pro nasionalis Tiongkok. Hingga gerakan itu sirna setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Mereka lantas menyatakan etnis Tionghoa adalah bagian dari masyarakat Indonesia.

Selama masa jayanya, Sin Po sempat berhenti terbit. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Namun kembali beredar pada tahun 1946. Bahkan pernah mengganti nama. Semua karena ikut aturan pemerintah. Mereka mengubah namanya menjadi Pantjawarta. Kemudian tahun 1962 berubah menjadi Warta Bhakti, sebelum akhirnya dibredel pemerintah pada tahun 1965 setelah kejadian 30 September 1965. Mereka dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak 1 Oktober koran itu tak lagi beredar.

Sentosa, seorang sesepuh di Jalan Toko Tiga sekitar Pasar Asemka, mengaku sebagai pembaca setia koran Sin Po. Sebab ayahnya langganan koran tersebut. Harus diakui, kata dia, memang koran itu sangat berjaya pada zamannya. Bisa dibilang koran nomor satu di ibu kota.

Pria kelahiran tahun 1936 itu menjelaskan bahwa Koran Sin Po terbit setiap hari. Untuk jumlah halamannya tidak banyak. Hanya sekitar 6 halaman. ''Korannya enggak setebal koran sekarang. Paling cuma 6 halaman. Terbitnya setiap hari. Dulu saya termasuk yang sering membaca koran Sin Po karena orang tua saya berlangganan koran itu tiap harinya,'' ungkap Sentosa.***

Editor:hasan b
Sumber:merdeka.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/