Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Lala Widy Laris, Sebulan Penuh Main di Pesbukers Ramadan
Umum
23 jam yang lalu
Lala Widy Laris, Sebulan Penuh Main di Pesbukers Ramadan
2
Ricky Soebagja Minta Pemahaman Tren Positif dan Menjaga Peak Performance hingga Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
22 jam yang lalu
Ricky Soebagja Minta Pemahaman Tren Positif dan Menjaga Peak Performance hingga Olimpiade 2024 Paris
3
Musisi Rock Steve Harley Tutup Usia 73 Tahun
Umum
20 jam yang lalu
Musisi Rock Steve Harley Tutup Usia 73 Tahun
4
STY Tak Risau Sejumlah Pemain Pilar Absen di Latihan Perdana Timnas Indonesia
Olahraga
6 jam yang lalu
STY Tak Risau Sejumlah Pemain Pilar Absen di Latihan Perdana Timnas Indonesia
Opini

Tuan Presiden, Beri Kami Sesuatu yang Pahit Agar Kami Sehat

Tuan Presiden, Beri Kami Sesuatu yang Pahit Agar Kami Sehat
Ilustrasi (int)
Rabu, 10 April 2019 11:13 WIB
Penulis: Hermanto Ansam
''SESUATU yang manis itu belum tentu sehat, bahkan bisa jadi didalamnya mengandung penyakit seperti diabetes dan penyakit lainnya. Justru yang pahit seperti jamu, rempah-rempah dan sebagainya, akan menyehatkan. Begitu juga kata-kata manis belum tentu menyehatkan, justru kata pahit bisa memacu motivasi dan kemandirian''.

Masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 sedang berlangsung. Semua janji terasa manis, semanis teh yang ditabur butiran gula kristal. Selama masa kampanye, kita selalu disuguhkan janji-janji manis yang membuat kita terbuai dan seolah-olah sedang tidak berada di negeri sendiri. Semua indah dengan kampanye tol yang mulus, lancar, kendaraan hilir mudik tanpa gangguan, atau kita didongengkan cerita tentang kemajuan ekonomi yang meroket dimana rakyat Indonesia hidup makmur.

Bahkan dari empat kali debat, rakyat disuguhkan orasi soal ekonomi Indonesia yang dikabarkan tumbuh pesat, pembangunan jalan yang sampai ratusan ribu kilometer, hingga kekuatan militer Indonesia terkuat di Asia Tenggara, rakyat yang sejahtera karena dapat sertifikat tanah gratis dan ratusan janji-janji yang membuat kita terlena seperti sedang menyeduh teh manis di sebuah kafe.

Di kampung saya, Kamang Magek, Agam, Sumatera Barat -- yang merupakan salah satu pusat perjuangan rakyat melawan Belanda dan puncanya terjadinya Perang Kamang yang terkenal -- dan juga mungkin di kampung-kampung lain di ranah Minang, orang sudah biasa mengejek atau dengan istilah lokal ''cemeeh'' karena ejekan justru bisa memicu motivasi seseorang. Anak yang dicemooh justru mampu memperbaiki diri yang berguna untuk masa depannya. Dan itu terbukti, banyak anak-anak yang hidup dalam ejekan semasa kecil, tumbuh menjadi pribadi kuat dan terus berusaha memperbaiki diri. Justru anak-anak yang sering mendapat pujian, akhirnya terlena, tertidur dengan pujian, bahkan ada yang sebagian menjadi angkuh dan sombong.

Karenanya, di Sumatera Barat, seseorang sudah terbiasa mendapat berbagai gelar sejak kecil, saat remaja hingga menikah. Dan umumnya gelar masa kecil itu adalah gelar jelek seperti tanggiang (gigi yang keluar), kapuyuak (kecoa) dan lain-lain. Jarang sekali si anak mendapatkan gelar yang bagus, karena gelar hebat hanya menciptakan manusia sombong bahkan meremehkan orang lain.

Pujian memang diperlukan untuk menambah semangat, tetapi kalau terlalu dipuji, akibatnya juga sangat vatal. Ibarat buah durian yang terlalu manis akhirnya terasa pahit di lidah. Sesuatu yang keterlaluan memang menghasilkan yang kurang baik, karenanya pujian yang terlalu diumbar juga bisa menjadi pisau yang merusak masa depan.

Sistem Pemilu kita memang sedang diuji. Pemilihan langsung dengan one man one vote telah melahirkan sistem kampanye yang mengutamakan kuantitas (jumlah) pemilih ketimbang kualitas karenanya suara satu orang gila dinilai sama dengan suara seorang ilmuwan atau begawan. Pemilihan langsung telah mendorong sebagian para ''penggombal'' yang mengumbar janji-janji manis ke rakyat untuk mendulang suara. Dan banyak orang-orang yang menjadi penasehat pemimpin negeri pun akhirnya berasal dari mereka yang bisa membantu mendukung mendulang suara sebanyak-banyak dengan cara apapun, bukan para pemikir hebat dalam negara, para inovator, para begawan, para seniman dan budayawan hebat, perancang-perancang hebat yang mampu melahirkan program yang luar biasa untuk ke maslahatan orang banyak.

Pemilu 2019 ini yang merupakan fase keempat di era reformasi. Selama hampir dua puluh tahun, kita sudah terlalu sering mendengar bagaimana para calon pemimpin menggombal rakyat dengan sangat tidak logika, meski kenyataan di lapangan sangat berbeda. Seperti sekarang, yang disampaikan presiden bahwa jalan yang sudah dibangun di desa 191 ribu kilometer (km), terlepas data itu betul atau hanya rekayasa, yang jelas panjang jalan itu sama dengan 4,8 kali keliling bumi dan apakah itu hanya satu periode jokowi atau hanya meneruskan periode sebelumnya, jangan-jangan itu hanya perbaikan jalan yang sudah dirintis di era Soeharto dan hanya mengalami perbaikan baik pengaspalan atau penambahan bahu jalan. Contohnya di Riau, umumnya, jalan-jalan yang ada sekarang merupakan rintisan di zaman Soeharto, dan diboleh dikatakan tidak ada ruas jalan baru yang dibangun di era Jokowi, kalau pun ada, masih harapan.

Bahkan kata-kata ekonomi kita meroket dan menjadi salah satu terbaik di Asia juga terlalu indah untuk didengar, karena ternyata banyak warga yang sedang merenung perekonomian rumah tangganya yang mulai terserang penyakit ''diabetes'' penghasilan bahkan juga sedang khawatir semakin sulitnya generasi muda mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan memang banyak, tapi yang ada uangnya sedikit. Kalau hanya kerja, kerja, kerja tanpa penghasilan yang memadai, tentu ini akan melahirkan kefrustasian anak bangsa.

Saat ini kita sedang memasuki revolusi teknologi yang begitu dahsyat, dimana internet, jaringan dan aplikasi sudah menggantikan peran orang dalam bekerja. Banyak karyawan yang harus dirumahkan karena peran mereka di perusahaan dan lembaga sudah diganti dengan aplikasi, yang otomatis melahirkan pengangguran baru disamping masih banyaknya generasi produktif yang belum bekerja.

Kita dan seluruh dunia sudah pernah mengalami revolusi industri antara tahun 1750-1850 dimana terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri di akhir abad ke-18 itu juga ditandai dengan terjadinya peralihan dalam penggunaan tenaga kerja di Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, yang kemudian digantikan oleh penggunaan mesin dan itu berlanjut ke seluruh dunia.

Kedatangan revolusi teknologi mau tidak mau akan meningkatkan produktifitas produk dan jasa, namun akan melakukan pengurangan besar-besaran dalam penggunaan tenaga manusia, dan otomatis akan mengurangi upaya penyerapan tenaga kerja. Revolusi teknologi ini juga akan melahirkan dampak yang lebih hebat dibandingkan revolusi industri di akhir abad 18. Peralihan ini jelas bukan perkara gampang untuk disesuaikan mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 265 juta jiwa atau mengalami peningkatan 65 juta jiwa dari angka 200 juta jiwa pada tahun 1997 saat reformasi terjadi, sementara industri yang kita bangun umumnya masih meneruskan hasil peletakan pondasi pembangunan era Soeharto, termasuk perkebunan-perkebunan yang kalau kita jujur, mulai rintis saat era Presiden Soeharto.

Kita memang pernah jadi bangsa yang besar di era Majapahit yang berdiri antara abad 13 hingga 16. Namun perjalanan runtuhnya Majapahit juga perlu kita ingat karena saat itu Majapahit terlalu terbuai dengan pujian, tidak ada yang berani mengkritik dan mengejek Majapahit sehingga diam-diam perdagangan diambil alih pedagang-pedagang Melayu dan Islam yang berpusat di Demak. Ditambah mahapatih Gajahmada sebagai Patih Amangkubumi memegang segala jabatan yang penting. Ia tidak memberi kesempatan generasi penerus untuk tampil, sehingga setelah meninggalnya Gajahmada, tidak ada penggantinya yang cakap dan berpengalaman.

Artinya, kaderisasi yang gagal di Majapahit akan meruntuhkan negara, dan kaderisasi merupakan upaya kita untuk mempertahankan bangsa melalui kualitas pendidikan. Jika kita tidak mampu membangun pendidikan dalam negeri yang kuat, sudah seharusnya kita belajar dari Malaysia yang di era pertama Perdana Menteri Mahathir Mohammad mengirim seluruh pelajar terbaiknya ke seantero dunia, bahkan banyak kampus-kampus terbaik dunia seperti Harvard University, Oxford University bahkan Massachusetts Institute of Technology atau MIT diisi pelajar-pelajar Malaysia kala itu, hasilnya, saat ini Malaysia memiliki sumberdaya manusia yang kuat. Dan jika kita memang harus mengandalkan pendidikan dalam negeri, kita juga tidak mengetahui dengan pasti, berapa jumlah sekolah baru yang didirikan pemerintah untuk semua tingkatan, yang jelas, saat ini banyak orangtua yang harus merogoh kantong dalam-dalam untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dan perguruan tinggi swasta. Kalau pun ada, jumlahnya sudah tidak sebanding dengan peningkatan populasi penduduk Indonesia karena umumnya sekolah-sekolah ini dibangun di era Soeharto dan hanya dilakukan penambahan lokal dan beberapa sekolah baru saja.

Kita juga pernah mengeyam kehidupan pahit pasca era Majapahit dengan masuknya penjajahan Belanda selama 350 tahun. Kehidupan era ini membuat kita menjadi budak di negeri sendiri. Bekerja di negeri sendiri namun hasilnya dibawa ke Belanda. Untungnya di awal abad 19, banyak orang tua yang memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya bahkan sampai ke negeri Belanda, Mesir dan Arab Saudi seperti mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain. Perpaduan pendidikan dari negeri sendiri dan luar negeri itu telah melahirkan semangat untuk mengembalikan Indonesia ke pangkuan ibu pertiwi hingga akhirnya kita merdeka tahun 1945.

Jadi kepada tuan presiden dan yang akan menjadi presiden, maafkan saya karena saya mengejek dan mencemooh perjalanan bangsa ini 20 tahun terakhir termasuk era Presiden Joko Widodo karena menurut saya, ejekan itu merupakan kekuatan yang akan membangkitkan dan memotivasi kita untuk menjadi lebih baik dan terus melakukan introspeksi diri serta melecut kembali bangsa kita kembali ke cita-cita luhur pendirian Republik Indonesia seperti tertuang dalam buku Tan Malaka dengan judul Naar de 'Republiek Indonesia' tahun 1925, yang mengandung niat untuk membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia, kita harus merdeka 100 persen, jadi tuan di negeri sendiri, bukan menjadi babu di negeri sendiri. Kekayaan kita sudah seharusnya untuk anak bangsa, bukan bangsa asing.

Dan mohon kiranya, kritik pahit tidak dilihat sebagai sikap pemberontakan tapi merupakan upaya mengembalikan niat luhur kita untuk menjadi macan Asia yang menjaga anak-anaknya dari berbagai bentuk serangan bangsa lain. Seorang pemimpin sudah seharusnya mampu memadukan janji manis dan pahit karena bagaimana pun janji pahit seperti ancaman dari revolusi teknologi dan ledakan pendudukan yang tidak terkendali merupakan upaya kita untuk sehat dan tetap bugar.

Dan pahitnya kehidupan masyarakat saat ini juga terlihat dari ketatnya persaingan pada pemilihan Presiden 2019 dimana semakin banyak rakyat yang tidak puas dengan hasil yang sudah ada. Semakin besarnya dukungan kepada Prabowo - Sandiaga Uno bukan berarti keduanya adalah yang terbaik tapi merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Karenanya, jika pun nantinya terpilih kembali, kita berharap Jokowi bisa menjadikan kekecewaan masyarakat 4,5 tahun terakhir sebagai lahan instrospeksi untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ke anak-anak bangsa, menjadikan Indonesia tuan dalam perdagangan dalam negeri serta membangun kaderisasi melalui pendidikan dalam negeri yang kuat dan ''mencuri'' ilmu ke luar negeri lewat pengiriman kembali pelajar-pelajar terbaik Indonesia ke perguruan-perguruan tinggi terbaik dunia.

Dan jika Prabowo - Sandiaga Uno menang, kita berharap dukungan yang besar itu hendaknya merupakan amanat dan hutang yang harus dibayar kepada rakyat. Rakyat membutuhkan perekonomian untuk menyelesaikan persoalan mereka dan negara membutuhkan pelajar-pelajar terbaik untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Hanya lewat pilihan pendidikan terbaik, kita bisa mengupas semua persoalan bangsa mulai dari persoalan ekonomi, politik hingga menjadi macan Asia yang melindungi anak-anaknya dari serangan bangsa asing.

Sekali lagi untuk presiden dan calon presiden, maaf jika kata dan janji-janji pahit itu lebih kami butuhkan dari pada janji manis yang bisa membuat kami terkena penyakit ''diabetes'' perekonomian. Lebih baik kita menatap tantangan kedepan yang pahit dan mencari solusi, ketimbang memuja muji apa yang sudah dilakukan dan diperbuat. ***

* Penulis adalah Pemimpin Umum GoNews Grup (GoRiau.com, GoSumbar.com, GoSumut.com, GoAceh.co, GoNews.co dan GoEvent)

Kategori:Ragam
wwwwww