Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
Internasional
3 jam yang lalu
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
2
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
2 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
3
Okto Sebut Sudah 9 Atlet Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
2 jam yang lalu
Okto Sebut Sudah 9 Atlet Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
2 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
https://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77

Antara Pajak Rokok dan Permenkes No. 53 Tahun 2017

Jum'at, 15 Desember 2017 22:58 WIB
Penulis: Fatih

Tujuan pembangunan kesehatan secara nasional adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Namun, tantangan pembangunan kesehatan masyarakat saat ini sangat banyak dan kompleks yakni terjadinya pergeseran/perubahan penyakit yang diderita masyarakat. 

  Jika dahulu masalah kesehatan banyak bersumber dari epidemi penyakit menular, pada masa kini masalah kesehatan banyak bersumber dari penyakit tidak menular (PTM). Data dari Kementerian Kesehatan RI (2011) menyebutkan bahwa kematian prematur pada usia 30 dan 70 akibat PTM di abad ke-21 sebesar 13,8 juta lebih besar dibandingkan dengan penyakit infeksi, perinatal dan nutrisi (4 juta) serta injuries (2,5 juta). 

  Selain berdampak pada kematian usia dini, PTM juga berdampak pada kerugian ekonomi masyarakat dan negara, laporan terbaru dari World Economic Forum (2015) menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi potensi kerugian ekonomi sebesar $ 4.47 triliun dari tahun 2012 sampai 2030 yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM).  

  Berbagai penelitian masalah kesehatan mengungkapkan bahwa salah satu faktor pemicu tingginya angka PTM di Indonesia seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes, ginjal dan penyakit berbahaya lainnya adalah konsumsi tembakau/rokok. 

  Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. 

  Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70 % diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50 % kematian akibat rokok berada di negara berkembang. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun (World Bank).    

  Oleh karenanya, pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi yang tujuannya untuk mengendalikan dampak konsumsi tembakau/rokok, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zak Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, atau Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau, dan berbagai kebijakan lainnya. Tembakau/rokok sebagai barang yang harus dikendalikan konsumsinya, maka Pemerintah juga menetapkan pengenaan “Cukai (Pita cukai)" terhadap tembakau/rokok (CHT) berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai. 

  Selain CHT, pemerintah juga menetapkan berlakunya pajak rokok yang besarnya adalah 10 % dari total penerimaan CHT (UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Ada beberapa perbedaan mendasar antara CHT dan Pajak Rokok, diantaranya adalah terkait penggunaan (earmaking) dan pendistribusian dana, dimana CHT hanya didistribusikan ke 17 provinsi penghasil tembakau, sedangkan Pajak Rokok didistribusikan ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia dengan pembagian berdasarkan jumlah penduduk dan azas potensial daerah. 

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah penghasil produk tembakau sejak tahun 2008 telah menerima bagi hasil CHT dari Kementerian Keuangan RI, dan setiap tahunnya pengawasan terkait penggunaan CHT dilakukan oleh Kemenkeu melalui Bappedasu. Demikian juga dengan Pajak Rokok yang baru diterapkan tahun 2014, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menerima transfer pajak rokok dari Kementerian Keuangan RI dan telah pula didistribusikan ke seluruh kabupaten/kota. Untuk tahun 2016 transfer pajak rokok yang diterima Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp.769.909.864.000,- dengan estimasi pajak rokok yang akan diterima Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2017 adalah Rp.833.282.172.000,-  atau naik sekitar 8,23 %. Sedangkan untuk dana bagi hasil cukai tembakau (DBH-CHT), Provinsi Sumatera Utara  mendapat dana sebesar Rp. 23.250.070.000,- (di tahun 2016) dan estimasi penerimaan pajak rokok di tahun 2017 sebesar Rp.17.138.184.000,- atau mengalami penurunan sebesar 26,3 %.    

  Kedua sumber dana tersebut, baik CHT maupun pajak rokok menambah pemasukan sumber biaya pembangunan di Sumatera Utara yang masuk melalui APBD setiap tahunnya. Dalam setiap regulasi/kebijakan CHT maupun Pajak Rokok disebutkan bahwa penggunaan CHT maupun pajak rokok yang diperuntukkan untuk kegiatan penanganan masalah kesehatan yang belum didanai sumber pembiayaan lain, antara lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan non fisik, Dana Alokasi Umum (DAU), dan dekonsentrasi. Sehingga Pemerintah Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lintas sektor di daerah dirasa perlu untuk memilih kegiatan mana yang sudah dan belum didanai oleh sumber dana tersebut. 

  Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok. Pasal 94 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini mengatur bahwa 70% hasil penerimaan pajak rokok diserahkan kepada kabupaten/kota dan 30% diserahkan kepada provinsi.

  Dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diatur bahwa penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Namun hal ini seakan sirna ketika pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes No. 53 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan No 40 Tahun 2016 tentang petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat.

“Permenkes No 40 tahun 2016 ini tentang pelaksanaan penggunaan pajak rokok dalam pelayanan kesehatan. Di situ disebutkan, dari 50 persen pendapatan pajak rokok bidang kesehatan dan hukum, 75 persen itu diarahkan untuk upaya promotif dan preventif. Sedangkan 25 persen lagi untuk mendukung program kesehatan,” ujar Koordinator Program Pengendalian Tembakau Yayasan Pusaka Indonesia, OK Syahputra Harianda.

“Di Permenkes No 53 tahun 2017 (yang baru) ini, malah dikatakan 75 persen untuk pelayanan kesehatan tadi (sesuai dalam Permenkes no 40 tahun 2016 sebelumnya), itu untuk mendanai BPJS Kesehatan. Jadi isunya itu kan begini, BPJS Kesehatan itu kan devisit Rp 9 triliun. Pemerintah kalap sekarang ini untuk menutupi devisit itu. Untuk menutupi itu, diambillah dari pajak rokok ini. Jadi ini kan sudah gak benar. 75 persen itu kan untuk tindakan promotif dan preventif. Sementara itu, program BPJS itu kan untuk kuratif. Artinya anggaran kesehatan kita ini habis untuk mendanai program kesehatan yang bersifat kuratif,” ujar OK kecewa.

Menurut OK, filosofi pajak rokok lebih menekankan upaya promotif dan preventifnya, tentang pencegahannya, bagaimana masyarakat itu tidak sakit. Itulah yang harus diupayakan. Bukan malah kepada upaya kuratif atau pengobatan.

“Inilah kebijakan baru yang menurut kami mengecewakan. Sekarang ini, kita bersama teman-teman aktivis pengendali tembakau bidang hukum sedang membahas persoalan ini. Artinya, langkah apa yang akan kita lakukan menyikapi Permenkes No 53 tahun 2017. Karena menurut kami daerah bakal dirugikan dengan permenkes yang baru ini,” jelasnya.

Secara tegas, OK tidak setuju adanya Permenkes No 35 tahun 2017. Sebab, 75 persen alokasi kesehatan diarahkan ke JKN.

  “Kalau selama ini kan tidak ada, hanya ada promotif dan preventif. Dengan keluarnya permenkes ini, anggaran 75 persen dari pajak rokok yang tadinya untuk promotif dan preventif, itu sekarang dialihkan ke JKN,” jelasnya lagi. 

  Nantinya, lanjut OK, setelah dapat kepastian langkah-langkah apa saja yang akan ditempuh dalam menggugat Permenkes No 53 Tahun 2017, pihaknya akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

  “Kalau sudah ada kepastian, nanti kita kabari lagi ke teman-teman media,” jawabnya.  

Editor:Fatih
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77