Membudayakan Film Berbudaya

Membudayakan Film Berbudaya
Andika Pratama
Kamis, 24 November 2016 14:44 WIB
Penulis: Andika Pratama

TIDAK dapat ditampik lagi, sudut-sudut ruang kosong hiburan masyarakat kini telah diambil alih seluruhnya oleh karya seni audio, visual dan waktu yang berbentuk sebuah film. Bagai air mengalir, kini film sangat diterima kehadirannya oleh para penikmat seni. Tak ayal para pebisnis memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan dan mengorbankan rasam masyarakat Indonesia.

Ditambah lagi dengan masuknya film-film luar yang berbeda budaya dengan Indonesia, seakan masyarakat dipaksa untuk menikmati budaya luar dengan minimnya filtrasi. Sebagai masyarakat awam, mereka hanya melihat hasil sebuah film tanpa melihat prosesnya. Ini seolah menjadi cambuk bagi pegiat seni film yang ideologinya masih bersih, mereka yang masih berpikir untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya melalui film.

Dalam masalah budaya di film ini, lagi negara ini menunjukkan keunikannya dengan terus membebaskan budaya luar masuk dengan leluasa ke wilayah NKRI dan meninabobokan masyarakat untuk terus menikmati film tanpa memberi wawasan untuk memberikan batasan dalam setiap frame yang terjadi di film-film luar budaya Indonesia. Akhirnya masyarakat Indonesia lupa dengan jati dirinya bangsanya.

Seorang kritikus film pernah bercerita perfilman kita saat ini begitu bertumpu pada darah dan doa, pada gerilya dan spekulasi buta. Kita bersiasat dan berupaya sebisa mungkin untuk melempar film ke tengah publik, lalu berdoa sebesar-besarnya pada Yang Maha Kuasa supaya ada penonton. Pola semacam ini lazim terjadi di kalangan yang berkarir dalam industri maupun yang bergerilya di luarnya, baik oleh pembuat film yang konon katanya hanya mencari keuntungan.

Seiring dengan perjalanann perfilman Indonesia yang kian hari kian menunjukkan kemajuan, banyak film-film diproduksi untuk diperdagangkan ke masyarakat, pasar perfilman Indonesia mulai menarik banyak pengusaha untuk masuk ke dunia perfilman tanah air. Pasalnya setiap film yang diproduksi akan menghasilkan keuntungan yang lumayan besar.

Kita contohkan semisal film Ada Apa dengan Cinta 2. Menurut liputan6.com, film yang bermodalkan sekitar Rp10 miliar ini  mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp133,2 miliar dengan penghasilan bersih kepada pihak produksi sebesar Rp53 miliar. Lebih 40% dari total pendapatan kasar. Hal inilah yang tidak disia-siakan mereka. Dengan menggunakan kekuatan modal besar, mereka bisa menguasai pasar perfilman negara ini yang saat ini persentasenya 13% dari populasi masyarakat Indonesia.

Kebutuhan akan film sudah masuk ke dalam ruang hidup masyarakat Indonesia, tak tinggal diam bioskop terus menerus memesan film-film ke para production house Indonesia. Namun tidak senada dengan permintaan bioskop, para production house hanya mampu membuat 3-4 film dalam setahun. Mereka harus terus membuat memompa diri dalam bekerja untuk membuat 6-7 film dalam setahun, dengan mengesampingkan esensi dan pentingnya sebuah film dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia.

Apalagi saat ini dunia produksi film di Indonesia kurang melihat realitas yang ada untuk mendirect sebuah film, dan membuat film hanya sesuai dengan selera sang produser demi menciptakan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Film Independen Sebagai Pengontrol Perfilman Indonesia.

Film independen atau biasa disebut film indie merupakan film yang diproduksi di luar ‘major label’ serta tidak dibuat untuk komersil. Film indie sebagai kebebasan berkarya independen yang idenya memungut proses dialektika seorang sineas tentang realitas yang ada dalam permasalahan ataupun tentang budaya dan permasalahannya di negara ini.

Film independen cenderung bebas dari gunting lembaga sensor dan tuntutan pasar. Ini membuat sineas bisa mengeksplorasi batas-batas tertentu yang tidak bisa dijangkau sineas film komersial. Alhasil, yang keluar adalah produk film yang jujur dan terkadang berani melawan arus.

Mulai tahun 1998 hingga kini perkembangan film-film indie mulai marak diproduksi oleh para sineas.  Tercatat dalam Festival Hellofest 2016 yang merupakan festival konten visual ada 501 film pendek dari beberapa kategori. Bukan saja perkembangannya yang pesat, film-film indie karya sineas Indoenesia banyak yang sudah berprestasi di mancanegara seperti film Love and Vengeance tahun 2016 dengan meraih Busan Award dan Asian Project Maker 2016.

Namun begitu, para sineas indie menemukan kesulitan dalam pendistribusian filmnya untuk ditayangkan ke masyarakat. Walaupun sudah ada acara-acara apresiasi film atau festival film yang ada di Indonesa, namun bukanlah itu tujuan utamanya. Film indie memiliki tujuan utama untuk ditonton banyak masyarakat, untuk menerangkan ke masyarakat sudut-sudut penting permasalahan negara ini atau budaya daerah yang telah dikikis oleh budaya modern ala mancanegara.

Jangan berharap film indie bisa ditayangkan di bioskop, film-film seperti ini tentulah tak dapat ditayangkan di bioskop karena tak sesuai selera penonton awam. Jangan juga berharap ke pemerintah, sineas indie memiliki karakter yang kuat tidak suka mengaduh terhadap pemerintah yang juga tidak memiliki kepastian dalam mendukung hal semacam ini.

Saat ini sineas dan penggiat perfilman mulai membangun wadah-wadah penayangan film-film indie, dan saat ini sudah beberapa daerah berjalan seperti Komunitas Eksibisi Buttonijo yang terus menayangkan film-film indie.

Ada juga bioskop mini kusus film indie subtitles, sampai saat ini bioskop ini mengkoleksi 4000-an film indie dari dalam dan luar negri. Sedangkan di ujung barat Indonesia yaitu Aceh ada Adoc yang dengan program ‘layar gampong’ menayangkan film-film karya komunitas indie di Aceh. Menariknya ini pemutaran film diadakan ke dalam perkampungan. Bagaimanapun medium penayangannya, semangat sineas dan penggiat film indie ini dalam membudayakan film yang berbudaya ke masyarakat layak untuk diapresiasi.

*Mahasiswa Jurnalistik Universitas Malikussalleh. Alumni Kelas Kritik Film Aceh Film Festival 2016. Penggiat Film Indie di Komunitas Scenia Film Unimal. email [email protected]

Editor:TAM
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/