Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
19 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
20 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
19 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
Olahraga
18 jam yang lalu
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
5
Tekad Bangkit Super Elang Jawan Raih Tiga Poin
Olahraga
18 jam yang lalu
Tekad Bangkit Super Elang Jawan Raih Tiga Poin
6
Ilhamsyah Bersyukur Menit Bermain Bertambah
Olahraga
18 jam yang lalu
Ilhamsyah Bersyukur Menit Bermain Bertambah
https://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/

Anjuran Berpolitik dalam Islam

Kamis, 06 Oktober 2016 11:07 WIB

Realitas perpolitikan ini sangat disayangkan, padahal dalam Islam sudah ada panduan (manhaj) bagi generasi yang ingin terjun dalam dunia politik seperti penjelasan ayat-ayat politik dalam kitab Imam Mawardi yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyyah yang dianggap sebagai buku pertama yang disusun khusus tentang pemikiran politik Islam. Selain dari Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya yang lain tentang politik Islam, antara lain: Adab ad-dunya wa ad-din (Tata krama Kehidupan Politik/Duniawi dan Agamawi), Qawanin al-wizarah (Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-mulk (Strategi Kepemimpinan Raja), dan masih banyak lagi referensi lain untuk dijadikan sumber dalam ajang berpolitik yang sehat dan bekal untuk memimpin bangsa.

Potret dinamika politik dalam kacamata Islam sudah diatur dan dijelaskan sedemikian rupa dan gamblang. Dalam kitab Adab ad-dunya wa ad-din (Tata Krama Kehidupan Politik/Duniawi dan Agamawi) disebutkan etika religius dan etika sosial merupakan salah satu alternatif bagi pembinaan dan pengembangan etika dan moral yang dewasa ini sebagai masalah dekadensi. Konsep muru’ah yang mengalami islamisasi dapat dijadikan pondasi sebagai benteng merebaknya krisis moral begitu pula dalam politik tanah air ketika pesta demokrasi berlangsung.

Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor. Imam Al Mawardi menyatakan “Sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia”. Dengan demikian seorang imam adalah pemimpin agama di satu pihak dan di lain pihak sebagai pemimpin politik.

Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan haus kekuasaan. Dalam bahasa Arab Siyasah itu diambil dari kata “sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti memelihara, mengatur, dan mengurusi. Pemaknaan politik (siyasat) Menurut Imam al-Bujairimi: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara membimbing mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”. Dalam hal itu, maka dalam Islam, politik itu sangat diprioritaskan karena politik tidak bisa dipisahkan dari Islam.

Ada tiga argumen mendasar sehingga politik tidak bisa dipisahkan dari Islam antara lain: pertama Islam ini adalah agama syumul yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariat Islam bukan hanya mengatur tentang ibadah ritual (ibadah Mahzah), moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariat Islam juga mengatur muamalah seperti ekonomi, politik, pendidikan, sosial budaya dan seterusnya.

Bukti dari semua ini bisa kita pelajari lewat kitab-kitab karangan para ulama terkemuka yang membahas tentang mulai dari cara bersuci (thaharah) sampai dengan politik Islam (siyasah islam). Dalam Al quran juga banyak anjuran untuk memperhatikan politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya seperti hukum Qishas dalam perkara pembunuhan (Qs. Al Maidah: 32), masalah ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (Qs. Al Baqarah: 275), dan ayat yang menerangkan tentang pendidikan meminta kepada Allah untuk ditambahkan ilmu pengetahuan (Thaha: 114).


Kedua apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah, saat menjadi kepala negara Islam di Madinah. Rasulullah yang memiliki kepribadian utuh dan terpuji dengan karakter siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Pemimpin yang memiliki sifat-sifat ini sangat dibutuhkan oleh negara. Sifat siddiq yakni kejujuran. Ketika Rasulullah memimpin, semua rakyatnya merasakan kesejahteraan yang sangat melimpah, karena Rasulullah memimpin secara jujur.

Tidak ada praktik-praktik korupsi seperti sekarang ini yang membuat rakyat semakin menjerit atas penderitaan yang didapat secara tidak langsung dari para pemimpin negerinya. Selanjutnya adalah amanah, Rasulullah adalah pemimpin yang sangat dipercaya oleh rakyatnya. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya karena kapabilitasnya yang baik dalam memimpin. Kemudian tabligh yang artinya menyampaikan. Seorang pemimpin harus menyampaikan kebaikan kepada para rakyatnya. Karena Rasulullah pernah bersabda, sampaikanlah dariku walau satu ayat, dan terakhir adalah fathanah, kepribadiannya yang Fathanah, menandakan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok pemimpin yang cerdas. Cerdas dalam memimpin adalah kunci untuk menyejahterakan sebuah bangsa. Jangan sampai pemimpin yang duduk di pemerintahan adalah pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas yang mumpuni. Sehingga mereka bukan memajukan sebuah negara, melainkan memundurkan sebuah negara.

Sepak terjang Rasulullah ketika menjadi kepala negara Islam di Madinah, menunjukkan hal yang jelas bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Kemudian rasul juga pernah menjadi panglima perang dan mengatur keuagan lewat tata kelola baitul mal, juga mengutus sahabat-sahabatnya untuk berdakwah keluar negeri, termasuk menerima delegasi-delegasi dari pemerintah luar negeri yang ada di sekitar Madinah ketika itu.

Ketiga, inti dari ajaran islam itu sendiri adalah mengajari kebaikan sesama manusia dan menyebar luaskan manfaat kepada lainnya. Potensi itu sangat kuat melekat pada ranah kekuasaan karena dengan kepemimpinan segala macam kebijakan ada dalam kendali sang pemimpin dan tidak mustahil dengan kebijakan yang ia pegang dapat membangun dan memajukan suatu bangsa.

Hadirnya politik dalam bingkai Islam menjadikan arah politik bisa mengayomi, memelihara, dan mengatur segala lini kehidupan dengan berkeadilan dan menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyatukan Islam dan Politik sebab Imam Ghazali pernah berkata “agama dan negara tidak bisa dipisahkan;  agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga.

Politik (pesta demokrasi) ini adalah ajang mencari ridha ilahi sebagai investasi untuk hari akhirat. Sayogianya, calon-calon pemimpin masa depan ini harus membuka dan membaca kembali karya-karya monumental ulama yang telah mengatur pencaturan politik dalam perspektif Islam seperti karya/buku-buku para ulama (cendikiawan muslim) yang disebutkan di atas sehingga kita menjadi manusia yang memahami makna hidup.

Makna hidup dalam Islam bukan sekadar berpikir tentang realita, bukan sekadar berjuang untuk mempertahankan hidup, tetapi lebih dari itu memberikan pencerahan dan keyakinan bahwa hidup ini bukan sekali, tetapi hidup yang berkelanjutan, hidup yang melampaui batas usia manusia di bumi, hidup yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan sang Ilahi. Akhir kata, mudah-mudahan para calon pemimpin bangsa kita mampu mewujudkan konsep negeri baldatun thayyibatun warabbun ghafur (negara yang baik dan selalu dalam ampunan Allah SWT). Amin.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah dan merupakan alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Editor:Kamal Usandi
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/