Rehabilitasi Korban Narkoba Berbasis Relegius

Minggu, 08 Mei 2016 10:11 WIB

Oleh: Helmi Abu Bakar el-Langkawi (*)

Di tengah era globalisasi kehidupan para generasi sekarang saat ini banyak dihantui oleh berbagai pengaruh dan budaya dari luar, salah satunya kecanduaan narkoba. Tidak sedikit generasi Aceh yang telah diracuninya bahkan kini Aceh termasuk dalam darurat narkoba. Ini bukan hanya isapan jempol, Aceh kini berada dalam rangking delapan di tingkat nasional dalam “Klasemen Liga Narkoba” Indonesia.

Kajati Aceh Tarmizi SH MH dalam seminar dengan tema “Tingkatkan Sinergisitas Antar Lembaga dalam upaya penanggulan Penyalahgunaan Narkoba di Aceh”, Agustus lalu, mengilustrasikan kondisi negeri “Serambi Makkah” ini tergolong sangat kritis dan darurat dalam penyalahgunaan narkoba pada komponen masyarakat. (Kajati Aceh, Agustus 2015).

Genderang darurat narkoba diperkuat lagi dengan jumlah penggunaan yang mencapai 7.000 orang. Para pecandu ini berasal dari berbagai elemen dan kalangan, mulai dari siswa sekolah, ibu rumah tangga, pejabat, oknum TNI/Polri, PNS dan kalangan swasta. Mereka sebagai pengguna aktif sabu-sabu dan jumlah ini akan mengalami peningkatan.

Tragis dan menyanyat hati kita, mayoritas pengguna itu di kalangan generasi penerus bangsa baik kalangan anak-anak maupun remaja dan pemuda. Penjelasan ini hasil pertemuan antara kalangan Komisi VI DPRA Aceh dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh awal Maret 2015. (Serambi Indonesia, 2015).

Pemerintah dalam hal ini juga tidak tinggal diam di bawah payung BNNP Aceh telah merilis dan menunjukkan tempat rehabilitasi sebanyak 19 rumah sakit dan Puskesmas di Provinsi Aceh sebagai IPWL (Instilasi Penerima Wajib Lapor) untuk rehabilitasi penyalahgunaan narkotika. Di antaranya rumah sakit tersebut adalah RSU Zainoel Abidin, RSU Langsa dan Puskesmas Kota Sigli. Pemerintah juga menunjuk sejumlah Lapas di Aceh sebagai tempat rehabilitasinya.

Di samping itu ada juga pusat rehabilitasi narkoba nonpemerintah yang dikelola oleh beberapa yayasan. Di Banda Aceh umpamanya ada Yayasan Tabina Aceh dan beberapa pusat rehabilitasi lainya. Bahkan di antara bukti serius pemerintah, melalui dinas sosial, pada bulan Agustus kemarin telah merencanakan untuk membangun panti rehab korban narkoba di Takengon dengan anggaran dana diusulkan mencapai Rp 67 milliar. Sebuah angka yang sangat  fantastis. 

Di antara program tersebut, penulis melihat pemerintah belum melakukan penanganan korban narkotika berbasis relegius dan bersifat kearifan lokal terlebih Aceh sebagai negeri yang telah mendeklerasikan diri negeri bersyariat. Aceh bergelar Serambi Makkah  dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan Islam berbasis  dayah dan telah mengakar dalam masyrakat untuk dapat dibentuk sebuah tempat rehabilitas korban narkoba berbasis relegius bernama “Dayah Narkoba” (Darba).

Metode yang akan diterapkan menggunakan pendekatan relegius yakni dengan menyalurkan prosesi kejiwaan dengan pembinaan agama. Teori dan konsep yang dirancang difokuskan kepada pengenalan diri dengan konsep Arrab (Arafa Nafsah Arafa Rabbah/ pengenalan diri  untuk mengenal Allah). Kata Ar-rab atau rabb itu sendiri merupakan bermakna ketuhanan, para santri ini dituntut untuk menemukan jati dirinya yang telah hilang ekses narkoba dengan penekanan kepada mencari esensi diri untuk menemukan nilai rabb (ketuhanan).

Para penderita narkoba tersebut di bawah bimbingan guru rohani diajak untuk bertafakkur, menyesali diri apa yang telah dilakukan selama ini, dalam bahasan tasawufnya dikenal dengan “tawajuh”. Mereka diajak meretas memori diri mereka hanyut dalam alam penyesalan, merasa bersalah, menyesali dosa yang telah diperbuat selama ini, sehingga menangisi diri dengan air mata taubat dan penyesalan untuk terus mengenal diri sendiri.

Sang guru spiritual ini mengajari mereka dengan berbagia zikir dan doa. Zikir itu dengan gerakan seperti shalat dan zikir rutin sesuai dengan arahan guru rohani. Efektifits pada tahapan ini, penderita diajak shalat dan berzikir. Sehingga, aspek fikiran (kognitif), perasaan (afektif), kemauan berbuat (konatif) serta aspek gerakan-gerakan tubuh (psikomotorik) korban narkoba itu dipadukan dalam satu arah, yakni nurani. Cara ini, merupakan upaya untuk mengintegrasikan semua fungsi psikis manusia, dalam mencapai kepribadian yang sempurna.

Dalam dunia tarekat, disebutkan bahwa ekses dari zikir itu sangat mempengaruhi seseorang, terlebih mereka yang berjiwa labil dan adanya  gangguan jiwa. Pengaruh dari zikir yang akan dirasakan oleh penderita sebuah kepuasaan rohani yang luar biasa yang tidak pernah dirasakan pada masa yang telah lalu. Dulu ada ketika korban narkoba merasakan kesenangan sering disebut dengan “fly”, namun kenikmatan yang kini dirasakan jarang sekali dan melebihi kesennagan dengan obat terlarang yang pernah meraka gunakan. 

Zikir itu dapat menghapus dan menghiangkan gelisah, rasa resah, khawatir juga mampu mengokohkan jiwa terhadap segala hambatan dan rintangan yang menerpa dalam kehidupan ini.Allah telah menjanjikan ketenangan jiwa dengan berzikir, disebutkan dalam al-Quran berbunyi:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram”. (QS. Ar-Ra’du[13]:29).

Para santri dayah narkoba diwajibkan untuk mandi dan mengekal diri dengan berwudhu. Lemahnya kesadaran korban narkoba hal ini diakibatkan  oleh  mabuk, diantara yang dapat dipulihkan yakni dengan mandi dan wudhu. Dalam ilmu kedokteran efek dari mandi atau wudhu itu, di mana pembuluh darah di permukaan tubuh menciut, sehingga darah pergi ke otak, dan tubuh bagian terdalam menjadi hidroterapi yang sangat efektif, menyegarkan jiwa dan raga yang pernah tersiksa. 

Para pelajar di dayah tersebut, diusahakan disibukkan dengan berbagai kegiatan regelius. Umpamanya waktu malam diisi dengan berbagi kegiatan ibadah dengan menghidupkan malam, berzikir, shalat Lail, baik tasbih, taubat, tahajud, witir dan lainnya. Kegiatan mereka diisikan sampai selesai Dhuha. Tetapi hal demikian tidak perlu dipaksakan, namun perlahan dan sistematis.

Kita menginginkan isinya yang bisa mengembalikan korban untuk bisa disembuhkan. Pendekatan psikologis dan olahraga serta pengobatan baik dengan kedokteran maupun herbal juga perlu dikombinasikan. Rehabilitasi santri dayah narkoba ini merupakan perpaduan berbagai konsep dengan penekanan nilai relegiusnya. Metode dan konsep itu terserah bagaimana disusun, setidaknya di antara metode tersebut dapat dirangkumkan dalam beberapa poin yaitu:

Pertama, bimbingan spiritual. Di sini diperlukan seorang murabbi (guru spiritual) dalam  dunia tarekat dikenal dengan sebutan mursyid untuk membangkitkan dan membimbing mental spiritual para santri dengan mengajarkan pendidikan wirid atau dzikir dan ibadah yang benar agar para santri dapat mengerti dalam proses mengenal Tuhannya.

Pengenalan ini tidak terlepas dari kewajiban syar’i berupa tatacara shalat dan hal lain yang merupakan fardhu ain setiap muslim, di samping zikir dan doa serta wirid yang sudah warid lainnya dari rujukan yang muktabar. Kedua,pengobatan tradisional dan modern, untuk pengobatan para santri korban narkoba dan kelainan perilaku, hendaknya juga digunakan cara tradisional dan dikombinasikan dengan pengobatan modern (kedokteran). 

Di sini peran pemerintah dan lemabaga lemabaga yang ahli turut disertkan dan dilakukan kerja sama yang baik. Racun dalam korban narkoba itu harus dikeluarkan dan memperbaiki fungsi syaraf dan organ tubuh. Tentu saja para ahli dan spesialis yang lebih tahu dalam hal ini diturut sertakan dan berpartipasi. Ketiga olah raga. Selain meningkatkan mental dan spiritual para santri, juga dijalankan program olah raga yang dilakukan setiap hari guna memulihkan dan mengembalikan kesehatan serta stamina para santri dengan bermain sepak bola, bulu tangkis, pencak silat dan lainnya.

Keempat, kesenian dan kerajinan. Dalam mengimbangi kegiatan para santri di dayah narkoba juga diadakan kesenian dan berbagai kerajinan tangan untuk memulihkan kepercayaan diri mereka. Kelima, pengajian, pengajian ini rutin dilakukan untuk memberikan pengetahuan agama sehingga implementasi ibadah sesuai dengan syariat. Metode dan konsep tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan kondisi mereka sehingga tidak membosankan dan diciptakan mereka lebih mencintai dan mengangap penting dengan ilmu agama itu sendiri.

Penulis berharap dengan adanya Darba yang secara etimologinya penulis maksudkan berasal dari bahasa Arab dengan makna “memukul”. Dengan “Darba” (pukulan) ini akan melahirkan dan membentuk generasi muda yang berkepribadian baik dan mulia serta membentuk cara dan pola berpikir santri sebagai penghuni dayah tersebut, Darba akan melahirkan santri yang konstruktif dan produktif dalam berbuat baik semaksimal mungkin dan selalu bermental positif dan optimis dalam menanggapi seluruh kenyataan hidup.

Kita harapkan juga mereka walaupun sempat menjadi insan yang pernah mengalami pengalaman yang buruk juga harus selalu siap mengambil inisiatif dan penuh perhatian dalam memikirkan kepentingan diri dan orang lain serta terbiasa dalam memikul tanggung jawab. Kita didik mereka menjadi menjadi manusia seutuhnya sebagai khalifatul arddhi (pemimpin di muka bumi) yang mengembangkan amanah layaknya manusia normal lainnya. Semua itu bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah, keluarga sang korban narkoba dan dayah sebagai tempat mendidik mereka, tetapi tugas kita semua.

Sebagai muslim yang taat tidak boleh egoisme, surga itu diraih sendiri dengan mengabaikan dan tidak peduli nasib sesama muslim, juga tidak boleh egoisme hanya mecegah diri kita sendiri dari cakaran api neraka dan melupakan saudara lain yang juga “ahli” (saudara).

Jangan lupa perintah Allah SWT dalam Al-Quran yang berbunyi:”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..”. (QS. At-Tahri [66]: 6). Rasulullah juga telah memperingatkan kita dalam beramar makruf nahi mungkar dengan bunyinya: “ Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaaannya), jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya, dan jika dia tidak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) dan demikian itu selemah-lemah iman. (HR. Muslim Nomor 49).

Mengomentari hadits ini Syekh Amin Kurdi di dalam kitab “Tanwirul Qulub” mengatakan, mencegah kemungkaran itu dikelompokkan kepada tiga golongan, mencegah dengan tangan dibebabkan kepada pemerintah dengan kekuasaannya, kemudian ulama berperan mencegahnya dengan menyampaikan secara lisan, sedangkan masyarakat biasa pada posisi ketiga dengan membenci dan tidak senang dengan kemungkaran.

Narkoba merupakan salah satu bentuk maksiat dan musuh besar bangsa bahkan dunia sekalipun, tanpa kepedulian semua eleman masyarakat baik keluarga, masyarakat dan pemerintah niscaya musuh besar itu akan terus merajalela dan memangsa anak dan saudara kita dibumi Iskandar Muda ini khususnya dan negara kita ini pada umumnya.

Hari ini korbannya tetangga dan saudara kita, siapa tahu dan siapa yang menjamin besok atau lusa, monster yang bernama narkoba itu tidak akan “menerkam” anak dan keluarga bahkan diri kita sendiri? Namun dengan sokongan dan kerjasama yang baik dari semua lapisan dan elemen tersebut, Insya Allah narkoba sebagai musuh itu akan dapat kita jinak dan musnahkan di negeri tercinta ini.

Darba di samping sebagai bentuk pencegahan rehabilitasi, kuratif (pengobatan) juga dapat difungsi sebagai pencegahan preventif (pencegahan pra terlibat narkoba). Usaha preventif hendaknya komposisi dan penjabarannya lebih menyentuh dengan kearifan lokalnya. Di sini peranan dayah juga dipandang sangat strategis, namun tanpa dukungan semua pihak juga tidak berhasil walaupun saat ini secara tidak langsung dayah telah melakukannya semenjak dari dulu secara mandiri dan fungsinya sebagai obor dan lampu umat.

Bentuk partipasinya pemerintah bukan hanya “simbolis” dan “kunker”. Tetapi harus lebih dari itu dalam memberantas narkoba sebagai musuh terbesar bangsa (the nation's biggest enemy) Namun tiga pencegahan (preventif, kuratif dan rehabilitasi) tersebut tidak sempurna tanpa adanya usaha represif yakni menindak dan memberantas penyalahgunaan narkoba melalui jalur hukum, yang dilakukan oleh para penegak hukum atau aparat keamanan yang dibantu oleh masyarakat. Usaha refresif ini harus serius memberi jera para pelaku, terlebih Aceh saat ini sudah dideklarsikan syariat Islam semenjak tahun 2001 sudah selayaknya tindakan refrensif dalam bingkai syariat diaplikasikan.

Sudah selayaknya penegakan  syariat Islam itu bukan hanya dijadikan sebagai bentuk“syari-ap” (syari- baca “cari”, ap-konsumsi-penulis) baik dalam segi politis atau lainnya, tetapi harus bisa diimplementasikandengan nyata dan bersunguh-sungguh serta peran pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga  penegakkan  syariat Islam itu sendiri yang akan menahkodakan negeri yang berjulukan “Serambi Mekkah” ini sebagai negeri impian dan dambaan bermahkotakan “Baldatun Tayyibatun Warabbul Ghafur”.Semoga..!!! 

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamittariq.

(*) Staf Pengajar di Dayah MUDI Mesjid Raya dan IAI Al-Aziziyah-Samalanga, Bireuen.
Email: [email protected]

Editor:Mustafa Kamal Usandi
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/